Monthly Archives: March 2013

Kisah Mualaf Cilik: Papa-Mama…Rio Tunggu di Pintu Surga

semua akan RusakAgnes adalah sosok wanita Katolik taat. Setiap malam, ia beserta keluarganya rutin berdoa bersama. Bahkan, saking taatnya, saat Agnes dilamar Martono, kekasihnya yang beragama Islam, dengan tegas ia mengatakan “Saya lebih mencintai Yesus Kristus dari pada manusia!”

Ketegasan prinsip Katolik yang dipegang wanita itu menggoyahkan Iman Martono yang muslim, namun jarang melakukan ibadah sebagaimana layaknya orang beragama Islam. Martono pun masuk Katolik, sekadar untuk bisa menikahi Agnes. Tepat tanggal 17 Oktober 1982, mereka melaksanakan pernikahan di Gereja Ignatius, Magelang, Jawa Tengah.
Usai menikah, lalu menyelesaikan kuliahnya di Jogjakarta, Agnes beserta sang suami berangkat ke Bandung, kemudian menetap di salah satu kompleks perumahan di wilayah Timur kota kembang. Kebahagiaan terasa lengkap menghiasi kehidupan keluarga ini dengan kehadiran tiga makhluk kecil buah hati mereka, yakni: Adi, Icha dan Rio.
Di lingkungan barunya, Agnes terlibat aktif sebagai jemaat Gereja Suryalaya, Buah Batu, Bandung. Demikan pula Martono, sang suami. Selain juga aktif di Gereja, Martono saat itu menduduki jabatan penting, sebagai kepala Divisi Properti PT Telkom Cisanggarung, Bandung.
Karena ketaatan mereka memegang iman Katolik, pasangan ini bersama beberapa sahabat se-iman, sengaja mengumpulkan dana dari tetangga sekitar yang beragama Katolik. Mereka pun berhasil membeli sebuah rumah yang ‘disulap’ menjadi tempat ibadah (Gereja,red).
Uniknya, meski sudah menjadi pemeluk ajaran Katolik, Martono tak melupakan kedua orangtuanya yang beragama Islam. Sebagai manifestasi bakti dan cinta pasangan ini, mereka memberangkatkan ayahanda dan ibundanya Martono ke Mekkah, untuk menunaikan rukun Islam yang kelima.
Hidup harmonis dan berkecukupan mewarnai sekian waktu hari-hari keluarga ini. Sampai satu ketika, kegelisahan mengguncang keduanya. Syahdan, saat itu, Rio, si bungsu yang sangat mereka sayangi jatuh sakit. Panas suhu badan yang tak kunjung reda, membuat mereka segera melarikan Rio ke salah satu rumah sakit Kristen terkenal di wilayah utara Bandung.
Di rumah sakit, usai dilakukan diagnosa, dokter yang menangani saat itu mengatakan bahwa Rio mengalami kelelahan. Akan tetapi Agnes masih saja gelisah dan takut dengan kondisi anak kesayangannya yang tak kunjung membaik.
Saat dipindahkan ke ruangan ICU, Rio, yang masih terkulai lemah, meminta Martono, sang ayah, untuk memanggil ibundanya yang tengah berada di luar ruangan. Martono pun keluar ruangan untuk memberitahu Agnes ihwal permintaan putra bungsunya itu.
Namun, Agnes tak mau masuk ke dalam. Ia hanya mengatakan pada Martono, ”Saya sudah tahu.” Itu saja. Martono heran.

Ia pun kembali masuk ke ruangan dengan rasa penasaran yang masih menggelayut dalam benak. Di dalam, Rio berucap, “Tapi udahlah, Papah aja, tidak apa-apa. Pah hidup ini hanya 1 centi. Di sana nggak ada batasnya.”

Sontak, rasa takjub menyergap Martono. Ucapan bocah mungil buah hatinya yang tengah terbaring lemah itu sungguh mengejutkan. Nasehat kebaikan keluar dari mulutnya seperti orang dewasa yang mengerti agama. Hingga sore menjelang, Rio kembali berujar, “Pah, Rio mau pulang!”
“Ya, kalau sudah sembuh nanti, kamu boleh pulang sama Papa dan Mama,” jawab Martono. “Nggak, saya mau pulang sekarang. Papah, Mamah, Rio tunggu di pintu surga!” begitu, ucap Rio, setengah memaksa.
Belum hilang keterkejutan Martono, tiba-tiba ia mendengar bisikan yang meminta dia untuk membimbing membacakan syahadat kepada anaknya. Ia kaget dan bingung. Tapi perlahan Rio dituntun sang ayah, Martono, membaca syahadat, hingga kedua mata anak bungsunya itu berlinang. Martono hafal syahadat, karena sebelumnya adalah seorang Muslim.
Tak lama setelah itu bisikan kedua terdengar, bahwa setelah Adzan maghrib Rio akan dipanggil sang Pencipta. Meski tambah terkejut, mendengar bisikan itu, Martono pasrah. Benar saja, 27 Juli 1999, persis saat sayup-sayup Adzan maghrib, berkumandang Rio menghembuskan nafas terakhir.
Tiba jenazah Rio di rumah duka, peristiwa aneh lagi-lagi terjadi. Agnes yang masih sedih waktu itu seakan melihat Rio menghampirinya dan berkata, “Mah saya tidak mau pakai baju jas mau minta dibalut kain putih aja.” Saran dari seorang pelayat Muslim, bahwa itu adalah pertanda Rio ingin dishalatkan sebagaimana seorang Muslim yang baru meninggal.
Setelah melalui diskusi dan perdebatan diantara keluarga, jenazah Rio kemudian dibalut pakaian, celana dan sepatu yang serba putih kemudian dishalatkan. Namun, karena banyak pendapat dari keluarga yang tetap harus dimakamkan secara Katolik, jenazah Rio pun akhirnya dimakamkan di Kerkov. Sebuah tempat pemakaman khusus Katolik, di Cimahi, Bandung.
Suara Gaib, Menghajikan Pembantu, dan Bertemu Rio di Mekkah
Sepeninggal anaknya, Agnes sering berdiam diri. Satu hari, ia mendengar bisikan ghaib tentang rumah dan mobil. Bisikan itu berucap, “Rumah adalah rumah Tuhan dan mobil adalah kendaraan menuju Tuhan.”
Pada saat itu juga Agnes langsung teringat ucapan mendiang Rio semasa TK dulu, ”Mah, Mbok Atik nanti mau saya belikan rumah dan mobil!” Mbok Atik adalah seorang muslimah yang bertugas merawat Rio di rumah. Saat itu Agnes menimpali celoteh si bungsu sambil tersenyum, “Kok Mamah ga dikasih?” “Mamah kan nanti punya sendiri” jawab Rio, singkat.
Entah mengapa, setelah mendengar bisikan itu, Agnes meminta suaminya untuk mengecek ongkos haji waktu itu. Setelah dicek, dana yang dibutuhkan Rp. 17.850.000. Dan yang lebih mengherankan, ketika uang duka dibuka, ternyata jumlah totalnya persis senilai Rp 17.850.000, tidak lebih atau kurang sesenpun. Hal ini diartikan Agnes sebagai amanat dari Rio untuk menghajikan Mbok Atik, wanita yang sehari-hari merawat Rio di rumah.
Singkat cerita, di tanah suci, Mekkah, Mbok Atik menghubungi Agnes via telepon. Sambil menangis ia menceritakan bahwa di Mekkah ia bertemu Rio. Si bungsu yang baru saja meninggalkan alam dunia itu berpesan, “Kepergian Rio tak usah terlalu dipikirkan. Rio sangat bahagia di sini. Kalo Mama kangen, berdoa saja.”
Namun, pesan itu tak lantas membuat sang Ibunda tenang. Bahkan Agnes mengalami depresi cukup berat, hingga harus mendapatkan bimbingan dari seorang Psikolog selama 6 bulan.
Mama Menjadi Mualaf
Satu malam saat tertidur, Agnes dibangunkan oleh suara pria yang berkata, “Buka Alquran surat Yunus!”. Namun, setelah mencari tahu tentang surat Yunus, tak ada seorang pun temannya yang beragama Islam mengerti kandungan makna di dalamnya. Bahkan setelah mendapatkan Alquran dari sepupunya, dan membacanya berulang-ulang pun, Agnes tetap tak mendapat jawaban.
“Mau Tuhan apa sih?!” protesnya setengah berteriak, sembari menangis tersungkur ke lantai. Dinginnya lantai membuat hatinya berangsur tenang, dan spontan berucap “Astaghfirullah.” Tak lama kemudian, akhirnya Agnes menemukan jawabannya sendiri di surat Yunus ayat 49: “Katakan tiap-tiap umat mempunyai ajal. Jika datang ajal, maka mereka tidak dapat mengundurkannya dan tidak (pula) mendahulukannya”.
Beberapa kejadian aneh yang dialami sepeninggal Rio, membuat Agnes berusaha mempelajari Islam lewat beberapa buku. Hingga akhirnya wanita penganut Katolik taat ini berkata, “Ya Allah terimalah saya sebagai orang Islam, saya tidak mau di-Islamkan oleh orang lain!”.
Setelah memeluk Islam, Agnes secara sembunyi-sembunyi melakukan shalat. Sementara itu, Martono, suaminya, masih rajin pergi ke gereja. Setiap kali diajak ke gereja Agnes selalu menolak dengan berbagai alasan.
Sampai suatu malam, Martono terbangun karena mendengar isak tangis seorang perempuan. Ketika berusaha mencari sumber suara, betapa kagetnya Martono saat melihat istri tercintanya, Agnes, tengah bersujud dengan menggunakan jaket, celana panjang dan syal yang menutupi aurat tubuhnya.
“Lho kok Mamah shalat,” tanya Martono. “Maafkan saya, Pah. Saya duluan, Papah saya tinggalkan,” jawab Agnes lirih. Ia pasrah akan segala risiko yang harus ditanggung, bahkan perceraian sekalipun.
Martono pun Akhirnya Kembali ke Islam
Sejak keputusan sang istri memeluk Islam, Martono seperti berada di persimpangan. Satu hari, 17 Agustus 2000, Agnes mengantar Adi, putra pertamanya untuk mengikuti lomba Adzan yang diadakan panitia Agustus-an di lingkungan tempat mereka tinggal.
Adi sendiri tiba-tiba tertarik untuk mengikuti lomba Adzan beberapa hari sebelumnya, meski ia masih Katolik dan berstatus sebagai pelajar di SMA Santa Maria, Bandung. Martono sebetulnya juga diajak ke arena perlombaan, namun menolak dengan alasan harus mengikuti upacara di kantor.
Di tempat lomba yang diikuti 33 peserta itu, Gangsa Raharjo, Psikolog Agnes, berpesan kepada Adi, “Niatkan suara adzan bukan hanya untuk orang yang ada di sekitarmu, tetapi niatkan untuk semesta alam!” ujarnya.
Hasilnya, suara Adzan Adi yang lepas nan merdu, mengalun syahdu, mengundang keheningan dan kekhusyukan siapapun yang mendengar. Hingga bulir-bulir air mata pun mengalir tak terbendung, basahi pipi sang Ibunda tercinta yang larut dalam haru dan bahagia. Tak pelak, panitia pun menobatkan Adi sebagai juara pertama, menyisihkan 33 peserta lainnya.
Usai lomba Agnes dan Adi bersegera pulang. Tiba di rumah, kejutan lain tengah menanti mereka. Saat baru saja membuka pintu kamar, Agnes terkejut melihat Martono, sang suami, tengah melaksanakan shalat. Ia pun spontan terkulai lemah di hadapan suaminya itu.
Selesai shalat, Martono langsung meraih sang istri dan mendekapnya erat. Sambil berderai air mata, ia berucap lirih, “Mah, sekarang Papah sudah masuk Islam.”
Mengetahui hal itu, Adi dan Icha, putra-putri mereka pun mengikuti jejak ayah dan ibunya, memeluk Islam. Perjalanan panjang yang sungguh mengharu biru. Keluarga ini pun akhirnya memulai babak baru sebagai penganut Muslim yang taat. Hingga kini, esok, dan sampai akhir zaman. Insya Allah. (Share by: Garrick Wirawan/mualaf.com)

Keajaiban Pabrik Gula dalam Tubuh Kita

pabrik gula di tubuhJika Anda memakan makanan yang mengandung sedikit lebih banyak gula daripada yang Anda butuhkan, suatu sistem dalam tubuh Anda akan bekerja mencegah kenaikan jumlah gula di dalam darah.

  • 1. Pertama, sel-sel pankreas akan menemukan dan menyisihkan molekul-molekul gula dari jutaan molekul lain di dalam darah Anda. Selain itu, sel-sel ini akan menghitung molekul gula untuk memutuskan apakah jumlahnya terlalu tinggi atau terlalu rendah. Yang mengagumkan, sel-sel yang terlalu kecil untuk dilihat mata, tanpa mata, tangan, atau pun otak ini, mengetahui kadar tepat molekul gula di dalam cairan.
  • 2. Jika menyimpulkan bahwa gula di dalam darah lebih banyak daripada yang dibutuhkan, sel-sel pankreas memutuskan untuk menyimpan kelebihannya. Tetapi, sel-sel ini tidak menyimpan; ada sel-sel lain, yang jauh letaknya, yang bertugas melakukan hal ini.
  • 3. Selama tiada perintah sebaliknya, sel-sel yang jauh ini tak akan menyimpan gula. Tetapi, sel-sel pankreas mengirimkan hormon ke sel-sel ini yang memerintahkan agar menyimpan gula. Rumus hormon yang disebut insulin ini telah dikodekan di dalam DNA sel-sel pankreas sejak saat terbentuknya.
  • 4. Enzim-enzim khusus di dalam sel-sel pankreas (protein-protein pekerja) membaca rumus ini dan membuat insulin berdasarkan rumus itu. Di dalam pembuatan ini, ratusan enzim melakukan beraneka fungsi.
  • 5. Insulin yang dihasilkan mencapai sel-sel tujuan lewat jaringan komunikasi yang terpercaya dan tercepat – aliran darah.
  • 6. Beraneka sel yang membaca perintah menyimpan gula yang tertulis di hormon insulin menaatinya tanpa syarat. Akibatnya, pintu-pintu yang membolehkan gula masuk ke dalam sel terbuka.
  • 7. Tetapi, pintu-pintu ini tak dibuka secara acak. Molekul-molekul tangki memisahkan molekul gula dari ratusan jenis molekul di dalam darah; molekul-molekul ini menangkap gulan dan menguncinya di dalam diri.
  • 8. Sel-sel selalu menaati perintah yang sampai padanya. Sel-sel tak salah mengerti perintah ini dan mencoba menangkap zat yang salah, atau menyimpan gula lebih banyak daripada yang diperlukan. Sel-sel bekerja dengan disiplin tinggi dan usaha keras.
Saat Anda meminum teh yang bergula terlalu banyak, sistem yang menakjubkan ini mulai bekerja dan menyimpan kelebihan gula di dalam tubuh Anda. Jika sistem ini tidak berfungsi, kadar gula di dalam darah Anda akan meningkat cepat dan Anda akan koma. Sistem yang hebat ini bahkan dapat bekerja dengan cara sebaliknya jika dibutuhkan.
Jika kadar gula di dalam darah turun di bawah kadar wajar, sel-sel pankreas bekerja menghasilkan suatu hormon lain yang disebut glukagon. Glukagon mengirimkan perintah ke sel-sel yang menyimpan gula dan menyebabkan sel-sel ini melepaskan gula untuk dicampur dengan darah. Sel-sel yang menaati perintah ini melepaskan gula yang telah disimpannya.

Di dalam  usus, karbohidrat menjadi glukosa dan dicampurkan ke dalam darah.  Jika kadar glukosa naik terlalu tinggi, pankreas melepaskan suatu hormon bernama insulin yang membantu sel menyerap glukosa.
Hormon ini menyatu dengan reseptor yang mengaktifkan pengangkut glukosa.  Glukosa masuk ke sel dan diubah menjadi tenaga.  Kadar glukosa dalam darah tetap mantap.Pada kasus penyakit diabetes, insulin tidak menyatu dengan reseptor sehingga tidak mengaktifkan pengangkut.  Glukosa beredar dalam darah dan meningkatkan kadar gulanya.
Bagaimanakah mungkin sel-sel tanpa otak, sistem syaraf, mata, atau telinga dapat melakukan perhitungan rumit dan melakukan fungsinya dengan sempurna? Bagaimanakah sel-sel tak sadar ini yang terbentuk oleh penggabungan protein-protein dan lemak melakukan hal-hal yang terlalu rumit untuk dikerjakan manusia?
Apakah sumber kesadaran menakjubkan yang ditunjukkan oleh molekul-molekul tak sadar ini? Tentunya semua kerja yang amat teliti yang berlangsung dalam tubuh kita ini menunjukkan kepada kita keberadaan dan kekuasaan Allah Yang berkuasa atas alam semesta dan segenap makhluk hidup. (harunyahya/keajaibanhormon.imanisiteler.com)

Do’a Hilangkan Rasa Pegal Dan Nyeri

NYERI

Bismillahi Ar Rahman Ar Rahim….

Terkadang kita merasakan sakit di salah satu anggota badan kita, bisa karena pegal atau nyeri karena sakit atau yang lainnya. Maka cara yang sesuai sunah adalah dengan meruqyahnya dengan bacaan doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam yaitu:

عن عثمان بن أبي العاص – رضي الله عنه – أنه اشتكى إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وجعا يجده في جسده منذ أسلم ، فقال النبي صلى الله عليه وسلم : ( ضع يدك على الذي تألم من جسدك وقل : بسم الله ثلاثا ، وقل سبع مرات : أعوذ بعزة الله وقدرته من شر ما أجد وأحاذر ) أخرجه الإمام أحمد والإمام مسلم وأبو داوود والترمذي والنسائي وابن ماجة

Dari Utsman bin Abil Ash radhiallahu anhu bahwa dia mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam rasa sakit yang dirasakannya pada badannya sejak masuk Islam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ( Letakkan tanganmu pada tempat yang sakit dibadanmu dan ucapkanlah:

(Bismillah) sebanyak tiga kali, dan ucapkan sebanyak tujuh kali:

(A’udzu biizzatillahi wa qudratihi min syarri ma ajidu wa uhadziru)

Yang artinya: (Aku berlindung dengan kemuliaan Allah dan kekuasaan-Nya dari keburukan apa yang aku jumpai dan aku khawatirkan ) Hadits dikeluarkan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’ie dan Ibnu Majah.

Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata: Apabila kita mengucapkannya dengan meyakininya dan mengimaninya dan akan mendapat manfaat dari do’a ini maka dapat menghilangkan rasa sakit dengan izin Allah Azza wa Jalla, dan ini lebih berkesan ketimbang obat yang kelihatan seperti pil, syirup atau suntikan, karena kamu memohon pertolongan kepada Yang ditangan-Nya kerajaan langit dan bumi Yang menurunkan  penyakit dan Dialah juga Yang menjauhkannya.( Syarah Riyadhus Sholihin 3 hal 67)

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata dalam “ Thibbun Nabawi”: (dalam pengobatan ini, yaitu berdzikir kepada Allah dan menyerahkan urusan kepadaNya, serta memohon perlindungan dengan kemuliaan dan kekuasaan-Nya dan keburukan rasa sakit untuk menghilangkannya, dan dengan mengulanginya supaya lebih sukses dan berpengaruh, seperti mengulang obat untuk mengeluarkan penyakit dalam tubuh, dan dengan mengulanginya sebanyak tujuh kali terdapat hasiat yang tersendiri)

http://sinauislam.wordpress.com

Sebuah Renungan menghadapi Kematian

beautiful-nature-151

Bismillahi Ar Rahman Ar Rahim

“Seandainya kematian merupakan tempat peristirahatan yang tenang dari seluruh keluh kesah hidup manusia di dunia… niscaya kematian merupakan suatu kabar gembira yang dinanti-natikan bagi setiap insan… Akan tetapi kenyataannya berbeda… setelah kematian itu ada pertanggung jawaban dan ada kehidupan…”

 

Kematian Adalah Kepastian

Betapa banyak berita kematian yang sampai di telinga kita, mungkin mengkhabarkan bahwa tetangga kita, kerabat kita, saudara kita atau teman kita telah meninggal dunia, menghadap Allah Ta’ala. Akan tetapi betapa sedikit dari diri kita yang mampu mengambil pelajaran dari kenyataan tersebut. Saudaraku, kita tidak memungkiri bahwa datangnya kematian itu adalah pasti. Tidak ada manusia yang hidup abadi. Realita telah membuktikannya. Allah Ta’ala telah berfirman.

“Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian, dan kelak pada hari kiamat saja lah balasan atas pahalamu akan disempurnakan, barang siapa yang dijauhkan oleh Allah Ta’ala dari neraka dan dimasukkan oleh Allah Ta’ala ke dalam surga, sungguh dia adalah orang yang beruntung (sukses).” (QS. Ali Imran : 185)

Allah Ta’ala juga telah berfirman,

“Katakanlah (wahai Muhammad) sesungguhnya kematian yang kalian lari darinya pasti akan mendatangi kalian, kemudian kalian akan dikembalikan kepada Dzat Yang Maha Mengetahui apa yang tersembunyi dan apa yang nampak, kemudian Allah Ta’ala akan memberitahukan kepada kalian setiap amalan yang dahulu kalian pernah kerjakan.” (QS. Al Jumu’ah : 8)

Saudaraku, kematian itu milik setiap manusia. Semuanya akan menjumpai kematian pada saatnya. Entah di belahan bumi mana kah manusia itu berada, entah bagaimanapun keadaanya, laki-laki atau perempuan kah, kaya atau miskin kah, tua atau muda kah, semuanya akan mati jika sudah tiba saatnya. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan bagi tiap-tiap jiwa sudah ditetapkan waktu (kematiannya), jika telah tiba waktu kematian, tidak akan bisa mereka mengundurkannya ataupun mempercepat,meskipun hanya sesaat” (QS. Al A’raf :34)

Saudaraku, silakan berlindung di tempat manapun, tempat yang sekiranya adalah tempat paling aman menjadi persembunyian. Mungkin kita bisa lari dari kejaran musuh, selamat dari kejaran binatang buas, lolos dari kepungan bencana alam. Namun, kematian itu tetap akan menjemput diri kita, jika Allah Ta’ala sudah menetapkan. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan dimanapun kalian berada, niscaya kematian itu akan mendatangi kalian, meskipun kalian berlindung di balik benteng yang sangat kokoh.” (QS. An Nisa : 78)

Kematian Adalah Rahasia Sang Pencipta

Kematian manusia sudah Allah Ta’ala tetapkan atas setiap hamba-Nya sejak awal penciptaan manusia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya proses penciptaan manusia di dalam perut ibu, berlangsung selama 40 hari dalam bentuk air mani, kemudian menjadi segumpal darah yang menggantung selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging  selama 40 hari juga. Kemudian Allah mengutus seorang malaikat untuk meniupkan ruh pada janin tersebut, dan diperintahkan untuk mencatat empat ketetapan : rezekinya, kematiannya, amalannya, dan akhir kehidupannya, menjadi orang bahagia ataukah orang yang celaka….” (HR. Bukhari dan Muslim)

Allah Ta’ala telah berfirman,

“Sesungguhnya di sisi Allah sajalah pengetahuan tentang (kapankah) datangnya hari kiamat, dan Dia-lah yang menurunkan air hujan, dan Dia lah yang mengetahui tentang apa yang ada di dalam rahim, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia kerjakan esok hari, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui di bumi manakah dia akan mati..” (QS. Luqman : 34)

Saudaraku, jika kita tidak tahu di bumi manakah kita akan mati, di waktu kapan kah kita akan meninggal, dan dengan cara apakah kita akan mengakhiri kehidupan dunia ini, masih kah kita merasa aman dari intaian kematian…? Siapa yang bisa menjamin bahwa kita bisa menghirup segarnya udara pagi esok hari…? Siapa yang bisa menjamin kita bisa tertawa esok hari…? Atau…. siapa tahu sebentar lagi giliran kematian Anda wahai Saudaraku…

Di manakah saudara-saudara kita yang telah meninggal saat ini…? Yang beberapa waktu silam masih sempat tertawa dan bercanda bersama kita…Saat ini mereka sendiri di tengah gelapnya himpitan kuburan… Berbahagialah mereka yang meninggal dengan membawa amalan sholeh… dan sungguh celaka mereka yang meninggal dengan membawa dosa dan kemaksiatan…

Faidah Mengingat Kematian

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan dunia”. Kemudian para shahabat bertanya. “Wahai Rasulullah apakah itu pemutus kelezatan dunia?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kematian”(HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, hadits dari shahabat Abu Hurairah)

Ad Daqaaq rahimahullahu mengatakan, “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian, maka akan dianugerahi oleh Allah tiga keutamaan, [1] bersegera dalam bertaubat, [2] giat dan semangat dalam beribadah kepada Allah, [3] rasa qana’ah dalam hati (menerima setiap pemberian Allah)”(Al Qiyamah Ash Shugra, Syaikh Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar)

Bersegera dalam Bertaubat

Sudah dapat dipastikan bahwa manusia adalah makhluk yang banyak dosa dan kemaksiatan. Seorang manusia yang banyak mengingat kematian, dirinya sadar bahwa kematian senantiasa mengintai. Dia tidak ingin menghadap Allah Ta’ala dengan membawa setumpuk dosa yang akan mendatangkan kemurkaan Allah Ta’ala. Dia akan sesegera mungkin bertaubat atas dosa dan kesalahannya, kembali kepada Allah Ta’ala. Allah telah berfirman,

“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah bagi orang-orang yang mengerjakan keburukan dikarenakan kebodohannya, kemudian mereka bertaubat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima taubatnya oleh Allah, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana” (QS. An Nisa : 17)

Maksud dari berbuat keburukan karena kebodohan dalam ayat di atas, bukanlah kebodohan seorang yang tidak mengetahui sama sekali bahwa apa yang dia kerjakan merupakan sebuah keburukan. Orang yang berbuat buruk dan tidak mengetahui sama sekali tidak akan dihukum oleh Allah. Akan tetapi yang dimaksud kebodohan di sini adalah seseorang yang mengetahui bahwa apa yang dia lakukan adalah keburukan, namun dia tetap saja melakukannya lantaran dirinya dikuasai oleh hawa nafsu. Inilah makna kebodohan dalam ayat di atas. (Syarah Qowaidul Arba’ Syaikh Sholeh Fauzan).

Allah Ta’ala berfirman, “Dan bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang telah dipersiapkan (oleh Allah) bagi orang-orang yang bertaqwa” (QS. Ali Imran : 133)

Giat dan Semangat dalam Beribadah kepada Allah

Seorang yang banyak mengingat kematian, akan senantiasa memanfaatkan waktunya untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdullah Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Jadilah engkau di dunia ini bagaikan seorang yang asing atau seorang yang sedang menempuh perjalanan yang jauh”, mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, lantas Abdullah ibnu Umar berkata, “Jika engkau berada di sore hari jangan engkau tunggu datangnya pagi hari, jika engkau berada di pagi hari jangan engkau tunggu datangnya sore hari, pergunakanlah waktu sehatmu (dalam ketaatan kepada Allah) sebelum datangnya waktu sakitmu, dan pergunakanlah waktu hidupmu sebelum kematian datang menjemputmu.” (HR. Bukhari)

Rasa Qana’ah di Dalam Hati

Allah Ta’ala akan menanamkan rasa qana’ah di dalam hati seseorang yang banyak mengingat kematian. Rasa qana’ah yang membuat seseorang merasa cukup terhadap setiap pemberian Allah Ta’ala, bagaimanapun dan berapa pun pemberian Allah. Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata,

“Kekasihku yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah tujuh perkara padaku, (di antaranya): Beliau memerintahkanku agar mencintai orang miskin dan dekat dengan mereka, dan beliau memerintahkan aku agar melihat orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta dan dunia), juga supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada di atasku. …” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Seseorang yang banyak mengingat kematian, meyakini bahwa segala pemberian Allah dari perbendaharaan dunia adalah titipan dari Allah. Seluruhnya akan diambil kembali oleh Allah, dan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Ta’ala atas seluruh pemberian tersebut. Nas’alullaha al afiyah.

Kehidupan setelah Kematian

“Saudaraku, seandainya kematian merupakan tempat peristirahatan yang tenang dari seluruh keluh kesah hidup manusia di dunia… niscaya kematian merupakan suatu kabar gembira yang dinanti-natikan bagi setiap manusia… Akan tetapi kenyataannya berbeda… setelah kematian itu ada pertanggung jawaban dan ada kehidupan… kehidupan yang sebenarnya…”

Diantara keimanan kepada hari kiamat adalah meyakini bahwa setelah kematian ini ada kehidupan. Semuanya akan berlanjut ke alam kubur kemudian ke alam akhirat. Di sana ada pengadilan Allah Ta’ala yang Maha Adil. Semua manusia akan diadili, mempertanggungjawabkan setiap amalan yang dia perbuat. Allah Ta’ala berfirman,

“Barangsiapa yang berbuat kebaikan meskipun sekecil biji dzarah, niscaya dia akan melihat hasilnya, dan barang siapa yang berbuat keburukan meskipun sekecil biji dzarah, niscaya dia akan melihat akibatnya” (QS. Al Zalzalah: 7-8)

Terakhir Saudaraku, jadilah orang yang cerdas. Orang yang cerdas dalam memandang hakikat kehidupan di dunia ini. Abdullah Ibnu Umar dia pernah berkata, ‘Aku bersama Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu seorang laki-laki Anshar datang kepada beliau, kemudian mengucapkan salam kepada beliau, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, manakah di antara kaum mukminin yang paling utama?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya di antara mereka.’ Dia berkata lagi, ‘Manakah di antara kaum mukminin yang paling cerdas?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat kematian di antara mereka, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian. Mereka itu orang-orang yang cerdas.’” (HR. Ibnu Majah)

Semoga bermanfaat. Allahul Muwaffiq ila Aqwamit Thariq

Sumber :

Renungan Menghadapi Kematian  [Hanif Nur Fauzi]

Demokrasi Menyalahi Syariat Islam

Alloh Jalla wa ‘Alaa berfirman :

“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh ? )”. (QS. Al An’aam: 116).

Ketahuilah,bahwa negeri kita menganut sistem demokrasi dan bila kita tengok lebih jauh ternyata sistem demokrasi ini benar-benar ”menuhankan” suara mayoritas. Karena sejak proses awal kampanye hingga pemilihan presiden, gubernur hingga ketua RT sekalipun maka suara mayoritaslah yang sangat menentukan.Oleh karena itu jangan heran bila kemudian muncul istilah “money politic”, karena suara merupakan sesuatu yang sangat berharga dalam sistem ini, lebih-lebih lagi kalau itu suara mayoritas.

 

Mengingat betapa besarnya pengaruh suara mayoritas ini dalam kehidupan bermasyarakat kita,baik yang terkait dengan gawe hari-hari ini ataupun yang yang lainnya,maka saya ingin mengajak para pembaca untuk sama-sama memahami dan menelusuri hakikat hukum suara mayoritas tersebut menurut kaca mata islam.

Apa Itu Hukum Mayoritas ?

Yang dimaksud dengan hukum mayoritas dalam pembahasan kali ini adalah ; suatu ketetapan hukum bahwa jumlah mayoritas merupakan patokan kebenaran, dan suara terbanyak merupakan keputusan yang harus diikuti,meski bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rosululloh ?.

Sejauh Manakah Keabsahan Hukum Mayoritas Ini ?.

Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggolongkan hukum mayoritas ini ke dalam kaidah-kaidah yang dipegangi oleh orang-orang jahiliyyah, bahkan termasuk kaidah terbesar yang mereka punyai. Beliau berkata : “Sesungguhnya di antara kaidah terbesar mereka adalah ; berpegang dan terbuai dengan jumlah mayoritas, mereka menilai suatu kebenaran dengannya dan menilai suatu kebatilan dengan kelangkaannya dan dengan sedikitnya orang yang melakukan”. (Kitab Masail Al Jahiliyyah, masalah ke-5).

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata : “Di antara karakter jahiliyyah adalah ; bahwasanya mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas, sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini tidak benar, karena Alloh Jalla wa ‘Alaa berfirman :

“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh ? )”. (QS. Al An’aam: 116).

Dia juga berfirman :

“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui”. (QS. Al A’raaf: 187).

“Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik”. (QS. Al A’raaf: 102).

Dan lain sebagainya”. (Syarh Masail Al Jahiliyyah, hal. 60).

Bila demikian hakekat permasalahannya, maka betapa ironisnya pernyataan para budak demokrasi bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Suatu pernyataan sesat yang memposisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat tertinggi yang tak akan pernah salah bak suara Tuhan. Mau dikemanakan firman-firman Alloh di atas ?!. Yang lebih tragis lagi, orang-orang yang mengkampanyekan diri sebagai “partai islam”….., siang dan malamnya berteriak “tegakkan syari’at Islam!!”, namun sejak awal kampanyenya yang dibidik adalah suara terbanyak, tak mau tahu suara siapakah itu. Dan ketika duduk di kursi dewan, teriakannya pun hanya sampai pada kata “tegakkan” sedangkan kata “syari’at Islam” tak lagi terdengar. Jangankan menegakkan syari’at Islam, menampakkan syiar Islam pada dirinya saja masih harus mempertimbangkan sekian banyak pertimbangan. Terlebih lagi tatkala rapat dan sidang digelar, hasilnya pun berujung pada suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu….. tak mau peduli, apakah sesuai dengan syariat Islam ataukah justru menguburnya….. tak mau pusing, apakah menguntungkan umat Islam ataukah justru menelantarkannya. Dan ketika hasil sidang tersebut diprotes karena tak selaras dengan syari’at Islam, maka dia pun orang yang pertama kali berkomentar bahwa ini adalah suara mayoritas anggota dewan….., kita harus mempunyai sikap toleran dan legowo….., kita harus menjunjung tinggi demokrasi, dan lain sebagainya. Padahal kalau dia belum duduk di kursi dewan, barangkali dialah orang pertama yang menggelar demo dengan berbagai macam atribut dan spanduknya. Wallohul Musta’an.

Demikianlah bila hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya, akan semakin jauh dari hukum Alloh, akan semakin buta tentang syari’at Islam, bahkan akan menjadi penentang terhadap hukum Alloh dan syari’at-Nya.

Para pembaca yang dirahmati Alloh….. sesungguhnya masih ada fenomena lain yang perlu untuk dijadikan refleksi, yaitu dijadikannya hukum mayoritas sebagai tolak ukur suatu dakwah. Apabila seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di seluruh radio nusantara dan akhirnya bergelar “da’i sejuta umat” maka dakwahnya pun pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. Padahal Alloh telah berfirman tentang nabi Nuh alaihi salam :

“Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit”. (QS. Huud: 40).

Rasululloh shalallahu ‘alaihi wassalam  bersabda :

“ “Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya kurang dari 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamanya….”. (HR. Al Bukhari no:5705, 5752, dan Muslim no:220, dari hadits Abdullah bin Abbas)

Asy Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alus Syaikh berkata : “Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas, dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti Al Qur’an dan As Sunnah bersama siapa saja dan di mana saja”. (Taisir Al ‘Azizil Hamid, hal.106).

Asy Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berkata : “Tidak boleh tertipu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan, Alloh berfirman :

“Dan jika kamu menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh ?)”. (QS. Al An’aam: 116).

Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada dalam kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan : “Sesungguhnya orang-orang melakukan demikian, mengapa aku eksklusif tidak sama dengan mereka ?”. (Al Qoulul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, Juz 1 hal. 106).

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata : “Maka tolak ukurnya bukanlah banyaknya pengikut suatu madzhab atau perkataan, namun tolak ukurnya adalah benar ataukah batil. Selama ia benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang (diikuti), karena ia adalah keselamatan. Dan selamanya sesuatu yang batil tidaklah terdukung (menjadi benar-pen) dikarenakan banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolak ukur yang harus selalu dipegangi oleh setiap muslim”. Beliau juga berkata: “Maka tolak ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) atau pun sedikit (minoritas), bahkan tolak ukurnya adalah al haq (kebenaran), barangsiapa di atas kebenaran- walaupun sendirian- maka ia benar dan wajib diikuti, dan jika mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolak ukurnya adalah kebenaran, oleh karena itu para ulama berkata : “Kebenaran tidaklah dinilai dengan orang, namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barangsiapa di atas kebenaran maka ia wajib diikuti”. (Syarh Masail Al Jahiliyyah, hal.61).

Asy Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alus Syaikh berkata : “Hendaknya seorang muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat (mengikuti mayoritas manusia -pen) dan tidak mau melihat kepada apa yang dikatakan oleh Alloh dan Rosul-Nya”. (Qurrotu Uyunil Muwahhidin, dinukil dari ta’liq Kitab Fathul Majid, hal. 83, no. 1).

Bagaimanakah Jika Mayoritas Berada Di Atas Kebenaran ?.

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan berkata : “Ya, jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik. Akan tetapi sunnatulloh (ketetapan Allah, red) menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan.

“Dan mayoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya” (QS. Yusuf: 103).

“Dan jika engkau menuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh”. (QS. Al An’aam: 116)”. (Syarh Masail Al Jahiliyyah, hal.62).

Penutup

Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya hukum mayoritas bukan dari syari’at Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur suatu dakwah, manhaj dan perkataan. Tolak ukur yang hakiki adalah kebenaran yang dibangun di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman As Salafus Sholih.

Atas dasar ini maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah batil. Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj dan perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan batil dan bukan dari syari’at Islam.

Wallohu A’lam Bish Showab.

http://kebunhidayah.wordpress.com

Life Begin at 40

Bismillahi AR Rahman Ar Rahim….

40Ketika Al-Qur’an menyebut sesuatu di dalam ayat-ayat-Nya, tentu ada yang sangat penting atau perlu diperhatikan terhadap sesuatu tersebut.
Demikian juga ketika Al-Qur’an memberikan apresiasi tersendiri terhadap tahapan manusia kala mencapai usia 40 tahun yang disebutkan di dalam ayatnya secara eksplisit. Allah swt. berfirman,
حَتَّى إَذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِى أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِى أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِى فِى ذُرِّيَّتِى إِنِّى تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّى مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Apabila dia telah dewasa dan usianya sampai empat puluh tahun, ia berdoa, “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang shaleh yang engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (Q.S. al-Ahqâf: 15)
Menurut para pakar tafsir, usia 40 tahun disebut tersendiri pada ayat ini, karena pada usia inilah manusia mencapai puncak kehidupannya baik dari segi fisik, intelektual, emosional, karya, maupun spiritualnya. Orang yang berusia 40 tahun benar-benar telah meninggalkan usia mudanya dan beralih menapaki usia dewasa penuh. Apa yang dialami pada usia ini sifatnya stabil, mapan, kokoh. Perilaku di usia ini karenanya akan menjadi ukuran manusia pada usia-usia berikutnya.
Doa yang terdapat dalam ayat tersebut tentu dianjurkan untuk dibaca oleh mereka yang berusia 40 tahunan. Apalagi mereka yang usianya di atasnya. Di dalamnya tampak terkandung uraian berbagai gejala orang yang berusia 40 tahun, yaitu:
  • nikmat yang sempurna telah diterimanya dan diterima oleh orang tuanya,
  • kecenderungan diri untuk beramal yang positif,
  • rumah tangga yang beranjak harmonis,
  • kecenderungan diri bertaubat dan kembali kepada Sang Pencipta, dan
  • ketegasannya mendeklarasikan diri sebagai pemeluk agama Islam.
Pada ayat yang lain, Allah swt. berfirman,
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيْهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيْرُ
Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam tempo yang cukup untuk berpikir bagi orang-orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepadamu pemberi peringatan? (Q.S. Fâthir: 37)
Menurut Ibnu Abbas, Hasan al-Bashri, al-Kalbi, Wahab bin Munabbih, dan Masruq, yang dimaksud dengan “umur panjang dalam tempo (tenggang waktu) yang cukup untuk berpikir” dalam ayat tersebut tidak lain adalah kala berusia 40 tahun.
 
Mengapa umur 40 tahun begitu penting?
Dalam tradisi Islam, usia manusia diklasifikasikan menjadi 4 (empat) periode, yaitu 1) periode kanak-kanak atau thufuliyah, 2) periode muda atau syabab, 3) periode dewasa atau kuhulah, dan 4) periode tua atau syaikhukhah. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyebut periode kanak-kanak itu mulai lahir hingga baligh, muda mulai dari usiabaligh sampai 40 tahun, dewasa usia 40 tahun sampai 60 tahun, dan usia tua dari 60-70 tahun.
Usia 40 tahun dengan demikian adalah usia ketika manusia benar-benar meninggalkan masa mudanya dan beralih menapaki masa dewasa penuh yang disebut dengan usia dewasa madya (paruh baya) atau kuhulah. Hal ini sesuai dengan pendapat pakar psikologi seperti Elizabet B. Hurlock, penulis “Developmental Psychology”. Katanya, “masa dewasa awal” atau “early adulthood” terbentang sejak tercapainya kematangan secara hukum sampai kira-kira usia 40 tahun. Selanjutnya adalah masa setengah baya atau “middle age”, yang umumnya dimulai pada usia 40 tahun dan berakhir pada usia 60 tahun. Dan akhirnya, masa tua atau “old age” dimulai sejak berakhirnya masa setengah baya sampai seseorang meninggal dunia.
Nuansa kejiwaan yang paling menarik pada usia 40 tahun ini adalah meningkatnya minat seseorang terhadap agama (religiusitas dan spiritualisme) setelah pada masa-masa sebelumnya minat terhadap agama itu boleh jadi kecil sebagaimana diungkapkan oleh banyak pakar psikologi sebagai “least religious period of life”.
Oleh karena itu, dengan berbagai keistimewaannya, maka patutlah jika usia 40 tahun disebut tersendiri di dalam al-Qur’an. Dan karenanya, tidaklah heran jika para Nabi diutus pada usia 40 tahun. Nabi Muhammad saw. diutus menjadi nabi tepat pada usia 40 tahun. Begitu juga dengan nabi-nabi yang lain, kecuali Nabi Isa as. dan Nabi Yahya as., mereka diutus menjadi nabi ketika usia mereka genap 40 tahun.
Di banyak negara ditetapkan, untuk menduduki jabatan-jabatan elit yang strategis, seperti kepala negara, disyaratkan bakal calon harus telah berusia 40 tahun. Masyarakat sendiri tampak cenderung baru mengakui prestasi seseorang secara mantap tatkala orang itu telah berusia 40 tahun. Soekarno menjadi presiden pada usia 44 tahun. Soeharto menjadi presiden pada umur 46 tahun. J.F. Kennedy 44 tahun. Bill Clinton 46 tahun. Paul Keating 47 tahun. Sementara Tony Blair 44 tahun.
 
Apa keistimewaan usia 40 tahun?
Salah satu keistimewaan usia 40 tahun tercermin dari sabda Rasulullah saw.,
العَبْدُ الْمُسْلِمُ إِذَا بَلَغَ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً خَفَّفَ اللهُ تَعَالَى حِسَابَهُ ، وَإِذَا بَلَغَ سِتِّيْنَ سَنَةً رَزَقَهُ اللهُ تَعَالَى الْإِنَابَةَ إِلَيْهِ ، وَإِذَا بَلَغَ سَبْعِيْنَ سَنَةً أَحَبَّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ، وَإِذَا بَلَغَ ثَمَانِيْنَ سَنَةً ثَبَّتَ اللهُ تَعَالَى حَسَنَاتِهِ وَمَحَا سَيِّئَاتِهِ ، وَإِذَا بَلَغَ تِسْعِيْنَ سَنَةً غَفَرَ اللهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ وَشَفَّعَهُ اللهُ تَعَالَى فِى أَهْلِ بَيْتِهِ ، وَكَتَبَ فِى السَّمَاءِ أَسِيْرَ اللهِ فِى أَرْضِهِ – رواه الإمام أحمد
Seorang hamba muslim bila usianya mencapai empat puluh tahun, Allah akan meringankan hisabnya (perhitungan amalnya). Jika usianya mencapai enam puluh tahun, Allah akan memberikan anugerah berupa kemampuan kembali (bertaubat) kepada-Nya. Bila usianya mencapai tujuh puluh tahun, para penduduk langit (malaikat) akan mencintainya. Jika usianya mencapai delapan puluh tahun, Allah akan menetapkan amal kebaikannya dan menghapus amal keburukannya. Dan bila usianya mencapai sembilan puluh tahun, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan dosa-dosanya yang belakangan, Allah juga akan memberikan pertolongan kepada anggota keluarganya, serta Allah akan mencatatnya sebagai “tawanan Allah” di bumi. (H.R. Ahmad)
Hadits ini menyebut usia 40 tahun paling awal, dimana isinya bermakna bahwa orang yang mencapai usia 40 tahun dan ia tetap memiliki komitmen terhadap penghambaan kepada Allah swt. sekaligus memiliki konsistensi terhadap Islam sebagai pilihan keberagamaannya, maka Allah swt. akan meringankan hisabnya. Perhitungan amalnya akan dimudahkan oleh Allah swt. Ini merupakan suatu keistimewaan tersendiri, karena dihisab, diteliti secara detail, diinterogasi secara berbelit-belit, merupakan suatu tahapan di akhirat yang sangat sulit, pahit, lama, dan mencekam tak ubahnya disiksa, betapa pun siksa yang sebenarnya belum dilaksanakan.
Orang yang usianya mencapai 40 tahun mendapatkan keistimewaan berupa hisabnya diringankan. Boleh jadi ini karena untuk mencapai usia 40 tahun dengan tingkat penghambaan dan keberagamaan yang konsisten tentulah membutuhkan proses perjuangan yang melelahkan.
Tetapi, umur 40 tahun merupakan saat harus waspada juga. Ibarat waktu, orang yang berumur 40 tahun mungkin sudah masuk ashar. Senja. Sebentar lagi maghrib. Sahabat Qotadah, tokoh generasi tabiin, berkata, “Bila seseorang telah mencapai usia 40 tahun, maka hendaklah dia mengambil kehati-hatian dari Allah ‘azza wa jalla.”
Bahkan, sahabat Abdullah bin Abbas ra. dalam suatu riwayat berkata, “Barangsiapa mencapai usia 40 tahun dan amal kebajikannya tidak unggul mengalahkan amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.
Nasihat yang diungkap oleh dua sahabat besar tersebut memberikan pengertian bahwa manusia harus mulai bersikap waspada, hati-hati, dan mawas diri dalam aktivitas pengabdiannya kepada Allah swt. manakala usianya telah mencapai 40 tahun. Ia ditekankan untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan amal kebajikan yang telah dibiasakannya pada usia-usia sebelumnya. Tidak justru “tua-tua keladi”, makin tua dosanya makin menjadi-jadi. Secara keras, Ibnu Abbas ra. mengingatkan manusia yang berumur 40 tahun dan amal kebajikannya masih kalah dibanding dengan amal keburukannya, maka hendaklah ia bersiap-siap ke neraka.
Atas dasar ini, penduduk Madinah dahulu yang didominasi oleh para sahabat Nabi Saw. ketika usia mereka telah mencapi 40 tahun, mereka konsentrasi beribadah. Mereka mulai memprioritaskan hari-harinya untuk aktivitas ibadah. Kesibukan mencari materi mereka kurangi dan beralih memfokuskan diri pada kegiatan yang bersifat non-materi, dalam rangka memobilisasi bekal sebanyak-banyaknya bagi kehidupan setelah mati. Hal yang sama dilakukan oleh penduduk Andalusia, Spanyol.
Imam asy-Syafi’i tatkala mencapai usia 40 tahun, beliau berjalan seraya memakai tongkat. Jika ditanya, jawab beliau, “Agar aku ingat bahwa aku adalah musafir. Demi Allah, aku melihat diriku sekarang ini seperti seekor burung yang dipenjara di dalam sangkar. Lalu burung itu lepas di udara, kecuali telapak kakinya saja yang masih tertambat dalam sangkar. Komitmenku sekarang seperti itu juga. Aku tidak memiliki sisa-sisa syahwat untuk menetap tinggal di dunia. Aku tidak berkenan sahabat-sahabatku memberiku sedikit pun sedekah dari dunia. Aku juga tidak berkenan mereka mengingatkanku sedikit pun tentang hiruk pikuk dunia, kecuali hal yang menurut syara’ lazim bagiku. Di antara aku dan dia ada Allah.”
Syeikh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab “al-Bahr al-Maurûd” menyatakan, “Kita memiliki keterikatan janji manakala umur kita telah mencapai 40 tahun, bahwa kita harus melipat alas tidur kecuali bila terkuasai (yakni, kantuk berat datang dan tak bisa dihindari), kita tidak boleh alpa dari keberadaan kita sebagai para musafir ke negeri akhirat di setiap detak nafas, sehingga kita tidak merasa memiliki kenyamanan sedikit pun di dunia. Kita harus melihat sedetik nafas dari umur kita setelah usia 40 tahun sebanding dengan 100 tahun dari umur sebelumnya. Begitulah. Pasca usia 40 tahun, tidak ada rehat bagi kita, tidak lagi berebutan atas suatu jabatan (kursi), tidak juga merasa senang dengan sedikit pun dari dunia. Semua itu karena sempitnya usia pasca 40 tahun. Tidaklah pantas orang yang berada di ujung kematian berlaku lalai, lupa, santai, dan bermain-main.”
Lantas, apa yang harus kita lakukan ketika menginjak usia 40 tahun? Beberapa yang disebutkan Ahmad Syarifuddin dalam bukunya ini adalah:
1. Meneguhkan tujuan hidup
2. Meningkatkan daya spiritualisme
3. Menjadikan uban sebagai peringatan
4. Memperbanyak bersyukur
5. Menjaga makan dan tidur
6. Menjaga konsistensi dan kontinuitas
Jika ada yang mengatakan bahwa: Life began at forty, saya cenderung berpendapat bahwa kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan religius, kehidupan yang berfokus dan konsentrasi untuk persiapan menuju negeri akhirat. Karena bagaimanapun, statemen Helen Rowland itu belum selesai. Lanjutnya, … but so do fallen arches, rheumatism, faulty eyesight, and the tendency to tell a story to the same person, three or four times. Kehidupan memang dimulai umur 40 tahun, tetapi pada saat itu kita juga mulai cekot-cekot, reumatik, rabun, dan kecenderungan pikun.
Karena itu, agaknya syair Ali bin Abi Thalib ra. ini bisa dijadikan renungan,
إِذَا عَاشَ الْفَتَى سِتِّيْنَ عَامًا # فَنِصْفُ الْعُمْرِ تَمْحَقُهُ اللَّيَالِي
وَرُبْعُ الْعُمْرِ يَمْضِى لَيْسَ يُدْرَى # أَيُقْضَى فِى يَمِيْنٍ أَوْ شِمَالِ
وَرُبْعُ الْعُمْرِ أَمْرَاضٌ وَشَيْبٌ # وَشُغْلٌ بِالتَّفَكُّرِ وَالْعِيَالِ
Jika seorang pemuda dikaruniai usia 60 tahun, maka separuh usianya habis oleh tidur di malam hari. Sementara seperempat usianya berlalu tanpa diketahui, apakah dijalankan ke kanan atau ke kiri. Seperempat usianya yang lain dimangsa oleh sakit, uban, dan kesibukan mengurus keluarga.
Jika umur kita pada kenyataannya lebih banyak yang kita habiskan untuk sesuatu yang tidak berguna, maka kiranya kini saatnya untuk tidak lagi menyia-nyiakan waktu yang tersisa. Sebagaimana sahabat Abdullah bin Umar r.a. pernah menceritakan hadits dari Rasulullah Saw. yang perlu dicamkan berkaitan dengan hal ini.
Rasulullah Saw. memegang kedua pundakku dan bersabda, “Jadilah di dunia seakan-akan kamu orang asing (perantau) atau pengembara (musafir).” Abdullah bin Umar ra. berkata, “Jika berada di waktu sore, jangan menanti waktu pagi. Jika berada di waktu pagi, jangan menanti waktu sore. Pergunakanlah (rebutlah) masa sehatmu (dengan amal-amal shaleh) untuk bekal (antisipasi) masa sakitmu dan masa hidupmu untuk bekal (antisipasi) masa matimu.” (H.R. Bukhari).
Semoga kita digolongkan hamba-Nya yang mampu mengisi umur kita dengan sebaik-baiknya sehingga meringankan hisab kita besok di akhirat. Amin.

Kisah Petani dan Puteranya yang Kikir

Bismillahi Ar Rahman Ar Rahim

petaniDharwan, sebuah desa di belahan Yaman, ada yang mengatakan dekat kota Shan’a. Hiduplah di desa itu seorang lelaki tua yang saleh bersama tiga putranya. Dia bekerja sebagai petani, mengelola kebun kurma dan anggur yang cukup berhasil. Setiap musim panen, anggur dan kurma yang diperolehnya berlimpah.

Tetapi, hasil tersebut bukan semata-mata kepandaiannya mengelola kebun tersebut, melainkan murni karena karuni dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lelaki tua itu sangat memahami bahwa di dalam kebun itu ada hak-hak lain yang harus ditunaikannya. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hak sesama manusia yang ada di sekelilingnya.

Seperti biasa, di pagi yang cerah itu, lelaki tua itu berangkat ke kebunnya. Angin bertiup lembut, membelai wajahnya yang keriput. Dengan perlahan dia berjalan memasuki kebunnya dan berkeliling. Dia mulai memeriksa isi kebunnya, dari satu sudut ke sudut lainnya. Dia membayangkan alangkah senangnya orang-orang yang fakir dan miskin menikmati rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala ini.

Itulah yang mungkin dipikirkannya. Hasil panen kebunnya memang selalu disiapkannya untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan.

Setelah puas berkeliling, sambil bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia bersiap untuk kembali ke rumahnya.

Tidak lama kemudian, musim panen pun tiba. Dengan penuh semangat, orang tua itu berangkat ke kebunnya. Setibanya di kebun yang rindang dan berbuah lebat itu, dia mulai memetik kurma dan anggur untuk kebutuhan keluarganya. Adapun sisanya, dia biarkan agar dapat diambil oleh mereka yang membutuhkan. Tentu saja masih cukup banyak.

Keadaan ini berlanjut sejak dia masih muda hingga dia memasuki usia renta. Melihat tindakan sang ayah yang selalu menyisakan hasil panennya untuk orang-orang yang fakir dan miskin dalam jumlah cukup besar, sebagian putranya menegur, “Ayah, kalau begini terus, kita bisa bangkrut. Kebutuhan kita semakin bertambah, tetapi ayah biarkan orang-orang yang fakir dan miskin menikmati hasil panen yang kita usahakan dengan susah payah.”

Ayah yang shaleh itu menasihati dan mengingatkan mereka bahwa harta yang ada di tangan mereka saat ini bukan milik mereka, melainkan titipan Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia melihat bagaimana kita berbuat terhadap harta tersebut. Dua di antara putranya ingin membantah dan menentang tetapi tidak berani.

Ayah yang baik itu mengingatkan pula bahwa usianya sudah lanjut, merekalah yang akan meneruskan pengelolaan tanaman anggur tersebut. Dia menceritakan pula bahwa itu semua telah dilakukannya sejak masih muda. Allah Subhanahu wa Ta’ala melipatgandakan hasilnya karena dia selalu berbagi dengan sesama. Dengan cara itulah panennya semakin bertambah.

Sebagian putranya masih tetap tidak menerima uraian sang ayah.

Hari-hari berlalu, sang ayah semakin tua dan mulai berkurang kekuatannya. Di masa-masa ‘pensiun’ itu, dia selalu menasihati anak-anaknya agar jangan lupa berbagi dengan sesama. Sebab, apa yang ada di tangan kita, tidak murni milik kita atau hak kita. Di situ masih ada hak yang lain yang wajib kita tunaikan. Ada hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan menzakatkan atau menyedekahkannya, dan ada hak sesama manusia yang tidak mampu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memerlukan harta yang di titipkan-Nya kepada kita. Berapa pun yang kita zakatkan atau sedekahkan, itu tidak memberi keuntungan atau manfaat apa pun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi keuntungan dan manfaat itu justru kembali kepada kita yang dititipi harta tersebut.

Beberapa waktu kemudian, lelaki tua yang shaleh itu meninggal dunia. Ketiga anak laki-lakinya sama-sama merasakan kesedihan ditinggal oleh ayah yang mereka hormati dan mereka cintai. Tetapi, itu tidak lama.

Kini, mereka mulai berusaha menghidupi diri dan keluarga mereka. Masing-masing telah mengambil bagian dari kebun anggur yang diwariskan oleh ayah mereka.

Suatu kali, mereka berkumpul dan bermusyawarah bagaimana tindakan selanjutnya mengatur kebun tersebut. Setelah berbincang lama, mereka mulai membahas sikap ayah mereka yang menurut -sebagian- mereka salah.

“Mulai musim panen ini, kita harus menghalangi orang-orang yang miskin itu ikut mengambil bagian. Keberadaan dan keikutsertaan mereka hanya mengurangi perolehan kita. Padahal kebutuhan kita semakin meningkat,” itulah usulan salah satu di antara mereka dan disepakati oleh salah seorang di antara mereka.

Adapun yang ketiga, sejak tadi mendengarkan. Melihat kebulatan tekad mereka, dia mulai angkat bicara.

“Lupakah kalian, apa yang dikatakan ayah kita sebelum beliau wafat? Kebun ini beliau kelola dengan cara seperti ini sejak beliau masih muda seperti kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang menyuburkannya, sebagai karunia dan ujian, apakah disyukuri atau dikufuri nikmat tersebut. Janganlah kita melanggar nasihat ayah, meskipun beliau sudah meninggal dunia.”

“Sudah. Kau diam saja. Kalau kau mau rugi, rugilah sendiri. Kami tetap tidak akan mengizinkan orang-orang yang miskin itu ikut menikmati hasil keringat kami,” kata yang satunya.

Yang lain menyambung, “Kami akan berangkat ke kebun sejak dini hari, sebelum orang-orang yang miskin itu ikut bangun dan menyusul ke kebun kami.”

Itulah rencana mereka.

Musim panen mulai tiba. Dua orang anak lelaki tua yang shaleh itu sudah bersiap sejak dini hari, sebelum fajar menyingsing mereka harus sudah tiba di kebun dan segera memetik hasil kebun mereka. Sambil bersiap, mereka saling mengingatkan agar jangan sampai ada orang-orang yang miskin yang masuk ke kebun mereka.

“Kita akan ke kebun dan memanen hasilnya,” kata mereka.

Saudara mereka mengingatkan, “Ucapkanlah insya Allah.”

Tetapi, mereka tidak mengacuhkannya.

Mereka berjalan dengan terburu-buru dan melihat-lihat apakah ada yang mengetahui keadaan mereka?

Tiba-tiba. Mereka terperanjat luar biasa.

“Jangan-jangan kita salah jalan. Ini bukan kebun kita. Bukankah kemarin masih kita lihat hijau dan rimbun, serta siap dipanen?” kata salah seorang dari mereka.

Saudara mereka yang bijak, yang selalu menasihati mereka berkata, “Itu memang kebun warisan ayah kita. Tetapi, kalian dihalangi memperoleh hasilnya. Bukankah aku sudah mengingatkan agar kalian bertasbih kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?”

Mereka memeriksanya, dan sadarlah mereka bahwa itu memang kebun mereka. Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi balasan atas niat buruk mereka, yaitu ingin menghalangi orang-orang yang miskin memperoleh jatah mereka yang ada di dalam hasil kebun tersebut.

Mereka segera sadar dan menyesali sikap mereka, tetapi semua telah terjadi. Kebun mereka telah hancur luluh, tidak ada yang tersisa. Mereka gagal menikmati apa yang ingin mereka nikmati.

Itu baru di dunia, bagaimana pula azab di akhirat yang lebih dahsyat?

“Mahasuci Allah, sungguh kami telah menzalimi diri kami sendiri. Alangkah celakanya kami. Sungguh, kami telah melampaui batas. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kami ganti yang lebih baik. Sungguh, kami benar-benar berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Demikianlah sepenggal kisah mereka. Penyesalan memang datang terlambat, tetapi masih terasa manfaatnya jika hal ini terjadi di dunia dan bisa diperbaiki. Seperti yang mereka alami.

Catatan:
Kisah ini sudah dikenal oleh masyarakat Arab (Quraisy) di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah diabadikan di dalam Al-Qur’an surah al-Qalam ayat 17-33. Menurut berita yang dinukil dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, mereka adalah sebagian dari orang-orang ahli kitab. Wallahu a’lam.

Sumber: Kisah ini diambil dari artikel “Para Petani dan Tuan-Tuan Kebun” karya Al-Ustadz Abu Muhammad Harits dalam majalah Asy Syariah no. 89/VII/1434 H/2012, hal. 75-77.

http://fadhlihsan.wordpress.com

 

Menafakuri Tanda-tanda Yang Ada Di Semesta Alam Dan Penemuan- penemuan Ilmiah

Bismilahi Ar Rahman AR Rahim

semua akan Rusak1. Kita dapat menelaah asma-asma dan sifat-sifat Allah SWT yang ada di semesta alam, agar menjadi jelas bagi kita bahwa Allah Maha Bijaksana, Maha Mengatur, Maha Menciptakan, dan Maha Pemberi Rizki. Dialah yang menciptakan tiap-tiap makhluknya dengan sebaik-baiknya dan Anda tidak akan menemukan adanya perbedaan dalam ciptaan-Nya.

“…(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu…” (QS. An-Naml (27): 88)

“Dia telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaahaa (20): 50)

Semuanya itu menunjukkan adanya Allah dan kemahakuasaan-Nya. Perhatikanlah tubuh Anda… perhatikanlah segala aktivitas Anda… dan semua perkataan yang Anda ucapkan. Perhatikanlah pula semua kesibukan, perasaan, dan gagasan Anda. Anda adalah bagian dari alam dan Anda sendiri adalah alam. Pada diri Anda tersembunyi alam yang paling agung. Mengapa Anda tidak mau memikirkan dan merenungkan diri Anda sendiri sehingga Anda menjadi hamba Allah yang baik?

“(Juga) pada dirimu sendiri, maaka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzaariyaat (51): 21)

Mula-mula faedah yang dapat kita petik ialah kita dapat menelaah asma- asma Allah melalui semesta alam dan sifat-sifat-Nya. Apabila kita melihat bunga yang merah, kita akan berpikir siapakah yang memberinya warna merah sedemikian indahnya.

2. Hendaknya perasaan dan penemuan ini dan juga pemahaman ini beralih kepada iman.

Tidaklah cukup Anda hanya mengenal bahwa yang menciptakan bunga adalah Allah, sedang Anda tetap tidak shalat, tidak menunaikan zakat, tidak bertasbih, dan tidak pula berdzikir kepada Allah. Demikianlah karena seorang peneliti yang kafir sekalipun mengetahui bahwa semua itu adalah buatan Allah, tetapi dia tidak beriman kepada Allah.

3. Anda dapat berdzikir kepada Allah melalui kitab semesta alam yang ditampilkan oleh Allah kepada Anda sehingga memudahkan Anda untuk mengingat-Nya.

Anda memandang pohon, maka mulut Anda berdecak kagum mengucapkan “Subhanallah”

Anda memandang gunung, maka mulut Anda mengatakan “Subhanallah”

Anda memandang ke air, cahaya, bumi, langit, gunung-gunung, dan lembah-lembah, lalu Anda berdecak kagum seraya mengucapkan “Subhanallah”

Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad SAW dan adalah mula-mula surat yang diturunkan adalah Iqra’ (bacalah), padahal beliau adalah seorang yang Ummi, tidak bisa baca dan tulis.

“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (al-Qur’an) sesuatu Kitabpun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang memgingkari(mu)”. (QS. Al-Ankabut (29): 48).

Akan tetapi beliau keluar dari gua Hira dan mengeluarkan kepalanya dari gua hira untuk membaca lembaran semesta alam, lalu membaca bintang-bintang yang gemerlapan, matahari yang terbit, lembah-lembah, aiar yang menyumber, parit-parit dan pancuran-pancuran air, serta sungai-sungai dan pohon-pohon, lalu beliau membaca semua itu. Oleh karena itu, ahlul `ilmi ada yang mengatakan sehubungan dengan makna iqra’, yakni bacalah semua yang terdapat disemesta alam agar Anda mengenal Allah SWT.

Jangan sampai seseorang diantara kita lalai terhadap ayat-ayat yang besar ini. Manakala dia berekreasi atau pergi ke hutan, ia hanya memandang hasil kreasi manusia yang hina dan meninggalkan kreasi dan buatan Tuhan manusia (Allah SWT).

Allah SWT telah berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda- tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali Imran (3): 190-191)

Kita memohon kepada Allah semoga Dia menghindarkan kita dari neraka dan menjadikan kita termasuk orang yang menafakuri penciptaan diri dan tanda-tanda yang besar dari kekuasaan Allah yang terdapat di alam semesta.

Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita, Muhammad SAW, segenap keluarga dan shahabat-ahahabatnya.

***

Tentang Blog Erva Kurniawan

 

Jangan Berlama-lama dengan selain Allah

Bismillahi ASr Rahman Ar Rahim

Apapun yang ada di hati, maka segeralah serahkan kepada-Nya, diantaranya dengan do’a ini :

allah bungaDo’a agar semua urusan diurus Allah :
.” Yaa Hayyu Yaa Qoyyuum birahmatika astagiits…ashlihlii sya’nii kullahuu walaa takilnii ilaa nafsi thorfata ainin”;
‘Wahai Allah Yang Maha Hidup, Wahai yang Maha berdiri sendiri mengurus makhluk-Nya,dengan rahmat-Mu tolonglah saya..
Perbaiki semua urusanku dan jangan serahkan kepadaku walau sekejap mata’.
( HR. Nasa’I )

Ingat keinginan, segera serahkan kepada-Nya
Ingat masalah, segera serahkan kepada-Nya
Ingat ancaman/bahaya, segara pasrahkan kepada-Nya
Ingat keluarga, segera berdoa pasrahkan kepada-Nya
Ingat apapun jangan berlama-lama, segera berharap pengurusan-Nya

Jangan berlama-lama dengan selain-Nya, segera pasrahkan total kepada-Nya, yakin dengan segala janji dan jaminan-Nya

Insya Allah akan segera kita rasakan ketenangan, juga berbagai petunjuk dengan cara-Nya, yang sadar tak sadar akan menuntun kita kepada ikhtiar menggapai pilihan-Nya, jalan keluar terbaik dari-Nya.. Sungguh indah dan berkah

(Aa Gym, Facebook )

Hikmah Di ciptakan Syaitan dan Jin

Tanya:
Apa faidah Alllah Ta’ala menciptakan setan dan jin? (Yusdi Rizal, Bandar Lampung)

Jawab:
Didalam Al Quran Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Allah Ta’ala menciptakan alam semesta dan semua yang ada di dalamnya, satu pun tidak ada yang batil atau sia-sia (QS Ali Imran : 191).

Oleh karena itu ketika Allah Ta’ala menciptakan iblis atau makhluk yang disebut setan Itu, bila dilihat dari sisi nilai ibadah, pada hakikatnya juga ada hikmahnya.

Imam al-Ghazali pernah menyatakan; jika ingin melihat kesalahan/kelemahan kita, carilah pada sahabat karib kita, karena sahabat kitalah yang tahu kesalahan/ kelemahan kita. Jika kita tidak mendapatkannya pada sahabat kita, carilah pada musuh kita, karena musuh kita itu paling tahu kesalahan/kelemahan kita. Sifat musuh adalah selalu mencari kelemahan lawan untuk dijatuhkan.

Demikian pula setan. la selalu mencari kesalahan/kelemahan orang-orang beriman untuk kemudian digelincirkan dengan segala macam cara.

Nah, jika kita telah mengetahui kesalahan/kelemahan kita, entah dari kawan, lawan, bahkan dari setan, lalu kita memperbaiki diri, insya Allah kita akan menjadi orang baik dan sukses. Jadi, kalau kita berpikir positif, ada juga hikmahnya setan itu buat orang-orang beriman.

Lebih rinci, di antara hikmah diciptakannya setan ialah :

1. Untuk menguji keimanan dan komitmen manusia beriman terhadap perintah Allah.

Karena setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah pasti akan diuji (QS. 29:2). Jika dengan godaan setan seorang mukmin tetap istiqamah dengan keimanannya, maka derajatnya akan ditinggikan oleh Allah Ta’ala dan hidupnya akan bahagia. Tetapi jika ia tergoda dan mengikuti ajakan setan, derajatnya akan jatuh, hina kedudukannya dan dipersulit hidupnya oleh Allah. (QS. 41 : 30-31).

2. Menguji keikhlasan manusia beriman dalam mengabdi kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala menjelaskan bahwa Dia menciptakan jin dan manusia tidak lain supaya mereka mengabdi kepada-Nya (QS. 51 : 56). Kemudian setan datang menggoda manusia, membangkit-bangkitkan syahwat kepada kenikmatan duniawi, rnembisikkan ke dalam hatinya angan-angan kosong dan keraguan, supaya manusia lupa terhadap tujuan dan tugas hidupnya di dunia. Jika manusia tetap sadar akan tujuan dan tugas hidupnya di dunia, dia akan tetap ridha menjadi hamba Allah Ta’ala dan mengabdi kepada-Nya. Terhadap hamba Allah seperti ini, setan tidak akan mampu menggodanya (QS. 15 : 40). Tetapi jika manusia tergoda, pada gilirannya ia akan menjadi hamba setan.

3. Untuk meningkatkan perjuangan di jalan Allah.

Sebab tanpa ada setan yang memusuhi kebenaran, maka tidak akan ada semangat perjuangan (jihad) untuk mempertahankan kebenaran. Dan sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Al Jazairi dalam Minhajul Muslim-nya bahwa salah satu bentuk jihad adalah jihad melawan setan. Ini merupakan sebuah tantangan yang cukup berat bagi orang yang beriman dalam mempertahankan komitmen keimanannya.

4. Allah Ta’ala hendak memberi pahala yang lebih besar kepada para hamba-Nya.

Semakin besar godaan setan kepada manusia dan dia mampu menghadapinya dengan baik, maka semakin besar pahalanya di sisi Allah Ta’ala.

5. Agar manusia waspada setiap saat, selalu memperbaiki kesalahan, meningkatkan kualitas ibadah dengan bertaqarrub kepada Allah Ta’ala.

Karena setan senantiasa mengintai kelengahan manusia. Sekejap saja manusia lengah, setan akan masuk, lalu mengacaukan hati dan syahwat. Tapi orang yang selalu waspada, akan senantiasa ingat kepada Allah sehingga setan tidak punya kesempatan untuk mengganggunya.

Jadi, bagi orang yang sudah kuat imannya, gangguan setan itu tidak akan merusak ibadahnya. tetapi malah mempertinggi kualitas iman dan ibadahnya. Masalahnya, tayangan-tayangan setan yang makin marak di televisi, tidak ditonton oleh mereka yang telah kuat imannya, melainkan oleh masyarakat dari berbagai lapisan umur dan kadar iman yang terbanyak masih memerlukan bimbingan. Bagi mereka ini, tayangan-tayangan itu sangat kontra produktif, bahkan bisa mendangkalkan iman mereka. (diadaptasi dari swaramuslim). Wallahu Ta’ala A’lam Bish Showab.
http://www.info-iman.blogspot.com