Category Archives: FIQIH

Mengeluarkan harta Di Luar Zakat

A. Shadaqah

Shadaqah ialah pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang llain dengan benar-benar mengharapkan keridhoan Allah SWT.

Hukum shadaqah adalah sunnah, hal ini sesuai dengan perintah Allah sebagai berikut :
“Dan bersedekahlah kepada kami, sesungguhnya Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bersedekah.” (QS. Yusuf : 88).

“Dan kamu tidak membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah : 272).

“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 177).

Dalam suatu hadits Rasulullah bersabda :

Seseorang telah datang kepada Nabi SAW, lalu ia bertanya : “Wahai Rasulullah, shadaqah yang bagaimanakah yang lebih besar pahalanya?”

Rasul menjawab : “Shadaqah dalam keadaaan sehat dengan harta yang sangat disayangi serta takut miskin dan ingin kaya. Dan jangan menunda-nunda bersedekah sehingga ruhnya telah sampai di tenggorokan (sekarat) lalu berwasiat untuk si Fulan sekian untuk Fulan yang lain sekian. Padahal waktu itu kekayaanmu sudah menjadi milik ahli waris.” (HR. Al-Bukhari Muslim)

Rukun Shadaqah

  • Orang yang memberi, syaratnya orang yang memiliki benda itu dan berhak untuk mentasarrufkan (mengedarkannya).

  • Orang yang diberi, syaratnya berhak memiliki. Dengan demikian tidak sah memberi kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya karena tidak berhak memiliki sesuatu.

  • Ijab dan Qabul. Ijab ialah pernyataan pemberian dari orang yang memberi, sedangkan Qabul ialah pernyataan penerimaan dari orang yang menerima pemberian.

  • Barang yang diberikan.


B. Waqaf

Waqaf (al-waqfu), menurut bahasa artinya “al-habsu” yaitu menahan atau tahanan. Waqaf menurut istilah syara’ ialah menahan harta benda tertentu yang dapat diambil manfaatnya sedangkan bendanya masih tetap, dan benda itu diserahkan kepada badan/orang lain debfab naksud untuk mendekatkan diri kepada Allah dan benda tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Allah SWT berfirman :

“Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-Hajj : 77).

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran : 92).

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :

Sesungguhnya Umar telah mendapatkan bagian tanah di Khaibar, kemudian bertanya kepada Nabi : “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut?”

Nabi menjawab : “Jika engkau menyukai tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya”.

Maka Umar menyedekahkan manfaatnya dengan perjanjian ia tidak akan menjual tanah tersebut, tidak akan menghibahkannya dan tidak akan mewariskannya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Rukun Waqaf

  • Orang yang berwaqaf, syaratnya ialah orang yang berhak mentasharrufkan benda itu dengan kehendak sendiri.

  • Harta yang diwaqafkan, syaratnya kekal zatnya dan kepunyaan orang yang mewaqafkan.

  • Orang/badan yang menerima waqaf, syaratnya berhak memiliki sesuatu.
  • Shigat, yaitu pernyataan orang yang berwaqaf. Jika waqaf kepada orang tertentu perlu ada qabul, tetapi jika waqaf itu kepada umum tidak disyaratkan ada qabul.


Waqaf itu haruslah selama-lamanya, sehingga tidak sah waqaf untuk masa terntentu. Waqaf juga harus secara tunai, maka tidak sah waqaf dengan syarat-syarat tertentu, seperti orang mewaqafkan sesuatu jika anakanya datang dari luar negeri. Tetapi waqaf tetap sah jika dihubungkan dengan kematian. Misalnya seseorang akan mewaqafkan sawahnya untuk masjid jika ia meninggal. Yang demikian itu menjadi wasiat. Waqaf juga harus jelas kepada siapa harta itu diwaqafkan.

Harta yang diwaqafkan pada hakikatnya adalah milik Allah, tetapi bagi yang berwaqaf akan selalu mendapatkan pahala, selama harta yang diwaqafkan itu masih dapat diambil manfaatnya. Oleh sebab itu waqaf sering disebut sebagai shadaqah jariyah.

Rasulullah SAW bersabda :

“Jika meninggal seorang hamba, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga hal, yaitu shodaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim dan lainnya).

C. Hibah

Hibah menurut bahasa artinya ialah pemberian. Menurut istilah yaitu pemberian kepada orang lain dengan tidak ada imbalannya, tidak ada sebab yang menjadikan adanya pemberian itu yang dapat dilaksanakan sewaktu seseorang masih hidup ataupun setelah meninggal dunia (disebut hibah wasiat).

Hukum hibah adalah mubah (boleh), sebagaimana sabda Rasulullah sebagai berikut :

Dari Khalid bin Adi, sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda : “Siapa yang diberi kebaikan oleh saudaranya dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak karena diminta maka hendaklah diterima dan jangan ditolak. Karean sesungguhnya yang demikian itu adalah rizki yang diberikan Allah kepadanya.” (HR. Ahmad).

Hibah dapat dianggap sah bila pemberian itu sudah mengalami proses serah terima. Jika hibah itu baru diucapkan dan belum terjadi serahh terima maka yang demikian itu belum termasuk hibah.

Jika barang yang dihibahkan itu telah diterima maka yang menghibahkan tidak boleh meminta kembali kecuali yang memberi itu orang tuanya sendiri.

D. Hadiah

Hadiah adalah pemberian kepada orang lain untuk memberikan penghormatan. Rasulullah SAW menganjurkan kepada umatnya agar saling memberikan hadiah, karena yang demikian itu dapat menumbuhkan kecintaan dan saling menghormati antar sesama.

Hukum hadiah adalah sunnah. Nabi bersabda :

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW beliau bersabda : “Andaikan saya diundang untuk makan sepotong kaki atau lengan binatang pasti akan saya kabulkan undangan itu begitu juga apabilasepotong kaki atau lengan binatang itu dihadiahkan kepada saya, akan saya terima.” (HR. Al-Bukhari).

Rasulullah SAW menerima hadiah dan beliau selalu membalasnya. (HR. Al-Bazzar).

 

Z a k a t

Kata zakat berasal dari bahasa arab “zakaah” yang artinya menurut bahasa tumbuh atau suci. Pengertian zakat menurut syara’ ialah kegiatan mengeluarkan sebagian harta tertetu kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat.

“Dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!” (QS. An-Nisaa : 77).

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah : 103).

Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khattab ra. Berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Islam dibangun atas lima perkara : persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah haji, berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhori dan Muslim).

Zakat terbagi menjadi dua macam, yaitu zakat fithrah dan zakat mal.

Zakat Fithrah

Menurut bahasa, zakat fithrah artinya zakat yang dikeluarkan pada hari raya Idul fithri, sedangkan pengertian menurut syari’at Islam adalah zakat yang diwajibkan bagi setiap muslim, laki-laki maupun perempuan, besar maupun kecil, yang memiliki kelebihan bagi keperluan dirinya dan keluarganya di hari raya Idul Fithri.

Dalam sebuah hadits dinyatakan sebagai berikut :
“Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fithrah untuk membersihkan diri orang-orang yang berpuasa dari perbuatan yang tidak berguna dan pada perkataan yang kotor serta untuk memberi makan kepada orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud).

Syarat Wajib Zakat Fithrah

Zakat fithrah wajib dilaksanakan bagi orang-orang yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  • Islam.
  • Orang tersebut ada (hidup) pada waktu terbenam matahari pada malam Idul Fithri. Dengan demikian orang yang meninggal sebelum terbenam matahari pada malam Idul Fithri ia tidak wajib membayar zakat fithrah, demikian juga anak yang lahir sesudah terbenam matahari tidak wajib dibayarkan zakat fithrahnya. Orang yang menikah sesudah terbenam matahari pada malam Idul Fithri juga tidak wajib membayarkan zakat fithrah bagi istrinya.

  • Orang itu mempunyai kelebihan makan baik untuk dirinya maupun keluarganya pada malam hari raya dan siang harinya. Rasulullah SAW bersabda :

    Ketika Rasulullah SAW mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda : “Beritahukanlah kepada mereka (penduduk Yaman), sesungguhnya Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang yang fakir di hadapan mereka.” (HR. Jama’ah ahli hadits).

    Adapun harta yang ada pada seseorang pada malam Idul Fithri untuk keperluan sehari-hari seperti meja, kursi, pakaian dan sebagainya tidak perlu dijual untuk membayar zakat fithrah. Orang yang memenuhi syarat untuk membayar zakat fithrah ia wajib membayarnya untuk dirinya dan semua anggota keluarganya yang menjadi tanggungannya.


Waktu Membayar Zakat Fithrah

Zakat fithrah ini boleh dibayarkan sejak awal bulan Ramadhan secara ta’jil (sengan lebih cepat) sampai dengan hari idul Fithri sebelum shalat. Berikut ini akan dikemukakan beberapa waktu pembayaran zakat fithrah :

  • Waktu yang diperbolehkan yaitu mulai dari awal bulan Ramadhan sampai penghabisan bulan Ramadhan.

  • Waktu wajib, yaitu semenjak terbenam matahari pada akhir bulan Ramadhan.

  • Waktu yang afdhal, yaitu waktu sesudah shalat shubuh dan sebelum shalat Idul Fithri.

Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fithrah untuk membersihkan orang-orang yang berpuasa dan untuk memberi makan orang-orang miskin. Siapa yang melaksanakannya (mengeluarkan zakat fithrah) sebelum shalat hari raya maka yang demikian itu termasuk zakat yang diterima, dan siapa yang mengeluarkannya sesudah shalat hari raya maka yang demikian itu termasuk sedekah biasa.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Mustahiq Zakat Fithrah

Mustahiq zakat fithrah artinya orang-orang yang berhak menerima zakat fithrah. Orang-orang yang berhak menerima zakat fithrah menurut pendapat yang kuat adalah golongan fakir miskin. Hal ini sesuai dengan hadits Rasullullah SAW, yaitu :

“Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fithrah untuk membersihkan diri orang-orang yang berpuasa dari perbuatan yang tidak berguna dan pada perkataan yang kotor serta untuk memberi makan kepada orang-orang miskin.” (HR. Abu Dawud).

Cara membayar zakat, baik zakat fithrah maupun zakat harta boleh secara langsung kepada mustahiqnya, atau kalau di suatu tempat itu ada panitia penerimaan dan penyaluran zakat, lebih baik pembayaran zakat itu melalui panitia.

Harta yang dikeluarkan untuk zakat fithrah adalah makanan pokok yang berlalu di negara/daerah di mana wajiba zakat tinggal, bisa berupa beras, gandum, sagu, jagung dan lain-lain. Menurut suatu pendapat, zakat fithrah boleh dibayarkan dengan berupa uang yang telah ditetapkan.

Dari Ibnu Umar ra, ia berkata : Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fithrah pada bulan Ramadhan, sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas tiap-tiap orang muslim merdeka atau hamba sahaya, baik laki-laki maupun perempuan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Ukuran jumlah yang dibayarkan zakat fithrah sebanyak satu sha’ sama dengan 3,5 liter (2,5 kg) beras.

Zakat Harta (Zakat Maal)

Zakat harta ialah kegiatan mengeluarkan sebagian harta kekayaan berupa binatang ternak, hasil tanaman (buah-buahan), emas dan perak, harta perdagangan dan kekayaann lain yang diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat tertentu.

Syarat wajib zakat harta adalah sebagai berikut :

  • Islam
  • Baligh
  • Berakal
  • Merdeka
  • Milik sendiri
  • Mencukupi satu nishab sesuai dengan jenis yang akan dikeluarkan zakatnya.
  • Telah mencukupi satu haul (satu tahun) kecuali untuk buah-buahan (pertanian), atau harta temuan, tidak harus menunggu satu haun, dan untuk bintang ternak yang wajib dizakati ialah yang digembalakan di padang rumput.


Macam-macam Harta yang Wajib Dizakati dan Ketentuan Nishabnya

a. Emas, perak dan uang
Nishab untuk emas adalah 20 mitsqal atau sama dengan 93,4 gram, zakatnya 2,5%.

Nisab perak adalah 200 dirham atau setara dengan 624 gram, zakatnya 2,5%.

Jika emas atau perak telah mencapai atau melebihi dari ukuran nishab dan telah satu tahun, maka telah wajib zakatnya, dan jumlah kelebihan tersebut harus diperhitungkan juga. Misalnya jumlah emas sebanyak 100 gram, maka perhitungannya adalah 2,5% dikalikan 100 gram = 2,5 gram. Yang dikeluarkan zakat bukanlah potongan/bagian dari emas tersebut, melainkan nilai uang yang setara dengan jumlah emas yang harus dikeluarkan.

Nishab dan jumlah yang harus dikeluarkan disetarakan dengan nishab emas dan perak.

Rasulullah SAW bersabda : “Apabila engkau mempunyai perak 200 dirham dan telah cukup satu tahun maka zakatnya 5 dirham dan tidak wajib zakat emas atas kamu hingga kamu mempunyai 20 dinar dan telah cukup satu tahun maka wajib zakat padanya setengah dinar.” (HR. Abu Dawud).

b. Harta Perdagangan
Jika barang-barang perdagangan dalam satu tahun ternyata nilainya seharga emas yang wajib dikeluarkan zakatnya, maka barang perdagangan tersebut wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah sebagai berikut :

Dari Samurah, Rasulullah SAW memerinthakan kepada kamu agar mengeluarkan zakat dari barang yang disediakan untuk dijual.” (HR. Ad-Daruquthni dan Abu Dawud).

c. Zakat Hasil Tanaman
Buah-buahan seperti kurma, biji-bijian yang mengenyangkan seperti beras, gandum, jagung dan yang semisal wajib dizakatkan jika mencukupi nishabnya. Zakat buah-buahan dan biji-bijian tidak perlu haul (satu tahun) tetapi dikeluarkannya pada waktu panen. Allah SWT berfirman :

“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-An’aam : 141).

Nishab zakat hasil tanaman adalah sebanyak lima wasaq, sebagaimana hadits Rasulullah SAW :

Dari Abu Said Al-Khudri ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Tidak ada zakat pada barang seperti tanaman dan biji-bijian yang kurang dari 5 wasaq.” (HR. Al-Bukhari).

Dari Ibnu Umar ra, dari Nabi SAW beliau bersabda : “Tanaman yang dialiri dengan air hujan, mata air atau yang tumbuh di rawa-rawa, zakatnya sepersepuluh dan yang diairi dengan tenaga pengangkutan zakatnya seperduapuluh.” (HR. Al-Bukhari).
Keterangan :

1 wasaq = 60 sha’, sehingga 5 wasaq = 300 sha’
1 sha’ = 2,304 kg, sehingga 300 sha’ = 691,2 kg = 6 kwintal 91 kg 200 gram

Zakat yang harus dikeluarkan :

  • Jika penyiraman menggunakan air hujan, mata air atau tumbuh di rawa-rawa sebesar 10%.
  • Jika penyiraman menggunakan tenaga pengakutan sebesar 5%.


d. Zakat Binatang Ternak

1) Unta
Seseorang yang mempunyai 5 ekor unta ke atas wajib mengeluarkan zakatya dengan aturan sebagai berikut :

  • 5 ekor unta zakatnya 1 ekor kambing
  • 10 ekor unta zakatnya 2 ekor kambing
  • 15 ekor unta zakatnya 3 ekor kambing
  • 20 ekor unta zakatnya 4 ekor kambing
  • 25 ekor unta zakatnya 1 ekor unta berumur 1-2 tahun
  • 36 ekor unta zakatnya 1 ekor unta berumur 2-3 tahun
  • 46 ekor unta zakatnya 1 ekor unta berumur 3-4 tahun
  • 61 ekor unta zakatnya 1 ekor unta berumur 4-5 tahun
  • 76 ekor unta zakatnya 2 ekor unta berumur 2-3 tahun
  • 91 ekor unta zakatnya 2 ekor unta berumur 2-3 tahun
  • 121 ekor unta zakatnya 3 ekor unta berumur 2-3 tahun
  • Kemudian untuk tiap-tiap 40 ekor unta zakatnya 1 ekor unta yang berumur 2-3 tahun dan untuk tiap-tiap 50 ekor zakatnya 1 ekor unta berumur 3-4 tahun.


2) Nishab dan Zakat Sapi atau Kerbau
Nishab zakat sapi atau kerbau ialah mulai dari 30 ekor ke atas dengan rincian sebagai berikut :

  • 30 – 39 ekor sapi/kerbau zakatnya 1 ekor anak sapi/kerbau yang berumur 1-2 tahun (tabi’)
  • 40 – 59 ekor sapi/kerbau zakatnya 1 ekor anak sapi/kerbau betina yang berumur 2-3 tahun (musinnah).
  • Untuk selanjutnya tiap-tiap 40 ekor sapi/kerbau zakatnya seekor anak sapi atau kerbau betina yang berumur 2-3 tahun (musinnah).


3) Nishab dan Zakat kambing
Nishab kambing mulai dari 40 ekor kambing dan zakatnya 1 ekor kambing berumur 2-3 tahun (ma’zun). Selanjutnya diatur sebagai berikut :

  • 40 – 120 ekor kambing zakatnya 1 ekor kambing berumur 2-3 tahun.
  • 121 – 200 ekor kambing zakatnya 2 ekor kambing berumur 2-3 tahun.
  • 201 – 300 ekor kambing zakatnya 3 ekor kambing berumur 2-3 tahun.
  • 301 – 400 ekor kambing zakatnya 4 ekor kambing berumur 2-3 tahun.
  • Untuk selanjutnya setiap bertambah 100 ekor kambing, zakatnya 1 ekor kambing.

 

e. Nishab dan Zakat hasil tambang
Hasil tambang berupa emas, perak dan sebagainya apabila sampai memenuhi nishab sebagaimana nishab emas dan perak maka harus dikeluarkan zakatnya seketika itu juga, tidak usah menunggu satu tahun. Adapun zakatnya adalah sebesar 2,5%.

f. Nishab dan Zakat barang temuan (luqathah)
Barang temuan berupa emas atau perak jika mencapai satu nishab harus dikeluarkan zakatnya seketika itu juga sebesar 20%. Ukuran nishabnya sama dengan emas dan perak.

Mustahiq Zakat

Mustahiq zakat harta adalah orang-orang yang berjak menerima zakat harta, terdiri dari delapan ashnaf (golongan). Sebagaimana firman Allah SWT :

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

  • Orang fakir, yaitu orang yang tidak ada harta untuk keperluan hidup sehari-hari dan tidak mampu untuk bekerja dan berusaha.
  • Orang miskin, yaitu orang yang penghasilan sehari-harinya tidak mencukupi kebutuhan hidupnya.
  • ‘Amil, yaitu orang-orang yang bertugas mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat kepada orang yang berhak menerimaknya. ‘Amil dapap disebut juga panitia.
  • Muallaf, yaitu orang yang beru masuk Islam dan imannya masih lemah.
  • Hamba sahaya (budak), yaitu orang yang belum merdeka.
  • Gharim, yaitu orang yang mempunyai banyak hutang sedangkan ia tidak mampu untuk membayarnya.
  • Sabilillah, yaitu orang-orang yang berjuang di jalan Allah.
  • Ibnu Sabil, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) seperti dalam berdakwah dan menutut ilmu.


Hikmah Zakat

  • Sebagai ungkapan syukur dan terimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikan bermacam-macam kenikmatan antara lain berupa kekayaan.
  • Dengan zakat, orang yang tidak mampu akan tertolong sehingga mereka dapat melakukan kewajiban-kewajibanya.
  • Zakat mengandung pendidikan untuk menjauhkan diri dari sifat kikir dan ssifat-sifat lain yang tercela.
  • Zakat dapat menciptakan hubungan kasih sayang dan saling mencintai antara orang kaya dan orang miskin dan juga dapat menghilangkan kecemburuan yang mungkin akan menimbulkan kejahatan.

 

 

P u a s a

Puasa (ash-shiyaam) menurut bahasa artinya adalah sama dengan “al-imsaak” yaitu menahan. Pengertian puasa menurut istilah syara’ ialah suatu amal ibadah yang dilaksanakan dengan cara menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari disertai niat karena Allah dengan syarat dan rukun tertentu. Kewajiban berpuasa terdapat dalam firman Allah SWT sebagai berikut :

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah : 183).

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah : 187).

Syarat Wajib Puasa

  • Islam
  • Baligh dan berakal
  • Suci dari haidh dan nifas
  • Mampu melaksanakan puasa, bagi orang yang tidak mampu seperti sakit, dalam bepergian, atau orang tua yang sudah tidak mampu untuk berpuasa, maka mereka boleh tidak berpuasa dan wajib mengqadhanya setelah di lain hari. Bagi yang sudah tua diwajibkan membayar fidyah.


Syarat Sah Puasa

a. Islam
b. Tamyiz.
c. Suci dari haidh dan nifas.
d. Bukan pada hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa.

Rukun Puasa

  • Niat, yaitu menyengajakan puasa di bulan Ramadhan. Jika puasa wajib maka niatnya harus dilaksanakan pada malam hari (sebelum terbit fajar). Untuk puasa sunnah niatnya boleh dilakukan pada pagi hari sebelum masuk wkatu zhuhur.

    Dari Hafshah Ummum Mu’minin ra, bahwa Nabi SAW bersabda : “Siapa yang tidak menetapkan niat puasa sebelum fajar maka tidak sah puasanya.” (HR. Imam yang lima).

  • Meninggalkan segala yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari.


Sunnah Puasa

1. Makan sahur.
Dari Anas bin Malik ra, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Hendaklah kalian makan sahur, karena dalam sahur itu terdapat suatu keberkahan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

2. Mengakhirkan waktu makan sahur.
Dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata : Kami makan sahur bersama Rasulullah SAW kemudian bangun untuk shalat shubuh. Ia ditanya tentang berapa lama antara sahur dan shalat shubuh itu. Ia menjawab : Kira-kira selama membaca lima puluh ayat. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

3. Menyegerakan berbuka puasa.
Dari Sahl bin Sa’ad ra. Rasulullah SAW bersabda : “Oarang masih tetap dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

4. Berbuka denga kurma atau sesuatu yang manis.

5. Membaca doa ketika berbuka.

6. Memberi makan untuk berbuka kepada orang yang berpuasa.
“Siapa yang memberi makanan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala sebanyak pahala orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut.” (HR. At-Turmudzi).

Hal-hal yang Dimakruhkan Bagi Orang yang Berpuasa

  • Berkata kotor, keji, mencaci maki, mengumpat, bertengkar dab berkata berlebih-lebihan.
  • Sengaja melambatkan berbuka setelah jelas masuk waktu maghrib dengan meyakini bahwa yang demikian itu merupakan keutamaan.
  • Berbekam, kecuali ada keperluan.
  • Bersiwak atau bersikat gigi setelah tergelincir matahari.
  • Berkumur-kumur secara berlebihan.
  • Sebagian ulama berpendapat bahwa suntik termasuk hal yang makruh bagi orang yang berpuasa.


Hal-hal yang Membatalkan Puasa
a. Muntah dengan sengaja
b. Haidh atau nifas
c. Jima’
d. Hilang kedasaran karena gila atau pingsan
e. Memasukkan sesuatu ke dalam rongga dengan sengaja, seperti makan, minum atau merokok.
f. Murtad (keluar dari agama Islam).

Orang yang batal puasa harus menggantinya pada hari lain (di luar Ramadhan) sebanyak hari yang ditinggalkan. Cara mengganti puasa harus diusahakan secepat mungkin dan jangan sampai melewati bulan Ramadhan berikutnya.

Jika batal puasa disebabka karena jima’ dengan sengaja, maka harus mengganti puasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka harus memberikan makan kepada orang miskin sebanyak 60 orang. Hal ini disebutkan dalam hadits berikut :

Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya seorang laki-laki telah bercampur dengan istrinya di sing hari pada bulan Ramadhan, lalu ia meminta fatwa kepada Nabi SAW tentang hal itu. Nabi menjawab : Adakah engkau mempunyai budak (untuk dimerdekakan)?, ia menjawab tidak. Nabi berkata lagi : Kuatkah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Ia menjawab tidak. Nabi bersabda lagi : Kalu engkau tidak berpuasa, maka berilah makan orang-orang miskin sebanyak enam puluh orang.” (HR. Muslim).

Hal-hal yang Membolehkan Tidak Berpuasa

  • Karena sakit yang menyebabkan seseorang tidak mampu berpuasa, atau dengan penyakitnya ia masih mampu berpuasa tetapi akan menambah sakitnya atau memperlambat proses penyembuhan berdasarkan keterangan orang yang ahli dalam bidang ini (dokter).

  • Karena dalam perjalanan yang jauh (musafir).
  • Karena usia tua yang sudah lemah sehingga tidak mampu lagi berpuasa atau karena pembawaannya fisik yang lemah.

  • Karena hamil dan menyusui anak.


Cara Mengganti Puasa yang Ditinggalkan pada Bulan Ramadhan

  • Wajib membayar qadha saja pada hari lain, yaitu bagi :
    • orang sakit yang meninggalkan puasanya.
    • wanita yang sedang haidh.
    • wanita yang sedang hamil jika takut membahayakan dirinya.
    • wanita menyusui jika ia khawatir akan membahayakan dirinya dan anaknya.
      “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah : 185).

  • Wajib membayar qadha dan fidyah, yaitu bagi wanita hamil dan menyusui yang karena takut berbahaya bagi janin/anaknya.
  • Wajib membayar fidyah saja, yaitu :
    • orang yang sakit dan tidak ada harapan untuk sembuh.
    • orang yang sudah tua yang tidak mampu lagi berpuasa.
      “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (QS. Al-Baqarah : 184).
  • Wajib qadha dan membayar fidyah dan masih berdosa, yaitu orang yang sengaja meninggalkan puasa tanpa uzdur syar’i.


Amalan Sunnah pada Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan yang sangat mulia, bulan yang penuh berkah dan amal ibadah orang-orang mu’min akan dilipatgandakan amalannya.

Dari Abu Hrairah ra, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yakni ketika datang bulan Ramadhan : “Sungguh telah datang padamu bulan yang penuh berkah, pada bulan ini Allah SWT mewajibkan kamu berpuasa, ketika itu dibuka pintu-pintu syurga, ditutup pintu-pintu neraka, dibelenggu syaithan-syaithan, dan pada waktu itu dijumpai pula suatu malam yang mulianya lebih berharga dari seribu bulan. Maka barang siapa yang tidak berhasil memperolehnya sungguh ia tidak akan mendaptakannya itu untuk selama-lamanya.” (HR. Ahmad, An-Nasai dan Al-Baihaqi).

  • Melaksanakan shalat tarawih dan shalat sunnah lainya dalam rangka mengamalkan qiyam Ramadhan.
    Dari Abu Hurairah ra, ia berkata Rasulullah SAW sangat menganjurkan untuk beribadah/shalat sunnah pada malam bulan Ramadhan tetapi dalam hal ini beliau tidak mewajibkannya dan selanjut beliau bersabda : “Barang siapa yang beribadah shalat sunnah pada malam bukan Ramadhan dengan penuh keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah SWT, maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Muslim).

  • Memperbanyak membaca Al-Qur’an atau tadarus dan lebih baik lagi jika mempelajari isinya dan mengajarkannya kepada orang lain.

  • Memperbanyak sedekah dan memberi makan untuk berbuka bagi orang yang berpuasa.
    Dari Anas dikatakan kepada Rasulullah SAW : “Rasulullah, sedekah manakah yang paling baik?”. Rasulullah menjawab : “Sedekah yang paling utama adalah sedekah di bulan Ramadhan.” (HR. At-Turmudzi).

  • Memperbanyak melakukan i’tikaf, yaitu berdiam di dalam masjid dengan diiringi niat.
    Dari Aisyah ra, ia menerangkan bahwa Rasulullah SAW melakukan i’tikaf setelah tanggal dua puluh ramadhan sehingga beliau wafat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

    Membaca Al-Qur’an, sedekah dan i’tikaf itu disunnahkan pada setiap waktu, tetapi ketiga hal ini lebih diutamakan lagi pada bulan Ramadhan, karena pada bulan ini terdapat suatu malam yang disebut malam qadar (lailatul qadar). Di mana bila kita beribadah tepat di malam itu nilainya lebih mulia daripada beribadah selama seribu bulan.

    “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr : 1-5).

    Mengenai kapan datangnya malam qadar, menurut pendapat para ulama yang paling kuat adalah malam-malam ganjil sesudah tanggal 20 Ramadhan (yaitu malam 21, 23, 25, 27 dan 29).


Ketentuan Awal dan Akhir Ramadhan

Puasa Ramadhan adalah puasa yang telah ditentukan waktunya yaitu selama bulan Ramadhan. Jumlah hari pada bulan Ramadhan ada yang 29 hari dan ada yang 30 hari. Puasa bulan Ramadhan ini disyariatkan pada tahun kedua hijriyah.

Untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan dapat ditempuh dengan tiga cara, yaitu :

1. Dengan cara ru’yah.

Ru’yah (ru’yatul hilal), yaitu melihat bulan bulan tsabit tanggal 1 Ramadhan dengan mata kepala. Begitu juga dalam menentukan akhir bulan Ramadhan, yaitu dengan melihat bulan tsabit pada tanggal satu Syawal.

“Karena itu, barang siapa di antara kamu menyaksikan awal Ramadhan, maka haruslah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah : 185).

Dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas ia berkata : Telah datang seorang laki-laki Badui kepada Nabi SAW, lalu ia berkata : “Sesungguhnya saya telah melihat hilal (bulan pertama Ramadhan)”.

Kemudian beliau bertanya : “Apakah engkau bersaksi tiada tuhan selain Allah?”

Ia menjawab : “Ya”.

Lalu Beliau bertanya lagi : “Apakah engkau bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad itu utusan Allah?”

Ia menjawab : “Ya”. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada Bilal : “Hai, Bilal. Serukanlah (beritahukanlah) kepada orang banyak agar esok hari mereka berpuasa”. (HR. Lima Ahli Hadits, kecuali Ahmad).

2. Dengan cara hisab

Cara ini dilakukan dengan jalan menggunakan perhitungan menurut ilmu falaq atau ilmu astronomi (ilmu perbintangan).

“Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus : 5)

3. Dengan cara istikmal

Yang dimaksud dengan istikmal adalah menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban menjadi 30 hari dan menyempurnakan bilangan hari bulan Ramadhan menjadi 30 hari.

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi SAW bersabda : “Berpuasalah kamu sekalian karena kamu melihat bulan dan berbukalah (berhari raya) kamu sekalian karena kamu melihat bulan. Jika kamu sekalian tidak melihat bulan maka sempurnakanlah bilangan hari dari bulan Sya’ban tersebut menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

Hikmah Puasa

Ibadah puasa mengandung beberapa hikmah, antara lain :

  • Sebagai tanda terimakasih kepada Allah SWT yang telah memberikan segala kenikmatan yang tidak terhitung jumlahnya. Ungkapan rasa terima kasih ini diwujudkan dengan mengerjakan perintah-perintahNya, antara lain berupa melakukan ibadah puasa.

  • Puasa dapat memberikan pendidikan keyakinan terhadap adanya Allah SWT dengan segala peraturan-peraturanNya. Dengan berpuasa, seseorang pasti meyakini bahwa peraturan atau hukum Allah adalah benar dan akan membawa kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di akhirat.

  • Puasa dapat memberikan pendidikan untuk menumbuhkan rasa kasih sayang kepada golongan fakir miskin.

  • Puasa dapat menjaga kesehatan manusia, baik kesehatan jasmani maupun kesehatan rohani.


Puasa Nadzar

Nadzar adalah janji akan melakukan kebaikan dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT baik dengan syarat maupun tidak dengan syarat. Melakukan kewajiban yang yang asalnya tidak wajib, jika dinadzarkan menjadi wajib.

Nadzar dengan syarat misalnya seorang siswa akan berpuasa selama tiga hari jika naik kelas. Sedangkan nadzar tanpa syarat ialah mewajibkan sesuatu atas dirinya tanpa sebab, seperti sesorang yang bernadzar mengucapkan : “Dengan karena Allah saya akan berpuasa tiga hari dalam minggu ini.”

Jadi puasa nadzar adalah puasa yang dinadzarkan dalam rangka beribadah mendekatkan diri kepada AllahSWT.

“Siapa yang bernadzar akan mentataati Allah, maka hendaknya ia menepati janjinya.” (HR. Al-Bukhari).

Bila seseorang melanggar nadzar yang telah diucapkannya, maka ia harus membayar kafarat (denda) dengan memilih salah satu bentuk di bawah ini :
1. Memberi makan sepuluh orang miskin.
2. Memberi pakaian sepuluh orang miskin.
3. Memerdekakan hamba sahaya.

Friman Allah SWT :
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah : 89).

Kafarat nadzar sama dengan kafarat sumpah, hal ini sesuai denan sabda Rasulullah SAW :
“Kafarat nadzar itu adalah kafarat sumpah.” (HR. Muslim).

Orang yang bernadzar pada hal-hal yang dilarang dalam agama, ia tetap berkewajiban membayar kafarat dan tidak boleh/berdosa jika melaksanakan nadzarnya.

Puasa Sunnah

Yang dimaksud dengan puasa sunnah ialah puasa yang hukumnya sennah yaitu jika dikerjakan akan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan bagi orang tersebut tidak berdosa.

Puasa sunnah antara lain :

1) Puasa 6 hari dibulan Syawwal
Dari Abu Ayyub Al-Anshori ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan, lalu diikuti dengan puasa 6 hari di bulan syawaal, ia seperti berpuasa selama setahun.” (HR. Muslim).

Umar ra. berkata Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan, lalu diikuti dengan puasa 6 hari di bulan syawaal, maka diampuni dosanya laksana pada hari dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Thabrani)

2) Puasa di hari Arofah
Ibnu Umar ra.`berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang berpuasa di hari Arofah maka diampuni dosa yang telah lewat dan dosa yang akan datang.” (HR. Abu Said).

3) Puasa pada hari ‘Asyuro
Dari Abu Qatadah Al-Anshari ra. bahwasanya Rasulullah SAW pernah ditanya tentang puasa di hari Arofah, lalu beliau menjawab : “Puasa di hari Arofah dapat menghapus dosa-dosa tahun lalu dan tahun yanga akan datang. Beliau ditanya tentang puasa di hari ‘Asyuro, lalu beliau menjawab : puasa di hari ‘Asyuro dapat menghapus dosa-dosa tahun lalu.” (HR. Muslim).

Ibnu Abi Syaibah dari Abu Hurairah ra. berkata : “Berpuasalah pada hari Asyuro, itu merupakan hari di mana para nabi berpuasa. ole karena itu berpuasalah kalian.”

4) Pasa pada hari Tasu’a
Abu Dawud meriwayatkan sesungguhnya Nabi SAW berpuasa pada tanggal 9 Dzulhijjah.

5) Puasa pada pertengahan bulan qamariyah (ayyaamul bidh)
Dari Abu Dzar ra. berkata, Rasulullah memerintahkan kami berpuasa tiga hari setiap bulan pada tanggal 13, 14, dan 15 (HR. Nasa’i dan Tirmidzi. Hadits Shohih menurut Ibnu Hibban).

Dari Abu Dzar ra. berkata, Rasulullah bersabda : “Jika kamu berpuasa tiga hari dari satu bulan maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15.” (HR. Nasa’, Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Ibnu Abbas ra. berkata : “Adalah Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkan berpuasa pada hari putih (tanggal 13, 14, dan 15) baik dalam bepergian atau di rumah.” (HR. Thabrani)

6) Puasa pada hari senin dan kamis
Abu Hurairah ra. berkata, Nabi SAW senantiasa berpuasa pada hari senin dan kamis, lantas ada orang yang bertanya kepadanya : “Wahai Rasulullah sesungguhnya engkau berpuasa pada hari senin dan kamis?” Lalu beliau menjawab : “Sesungguhnya hari senin dan kamis adalah dari di mana Allah mengampuni dosa-dosa setiap muslim kecuali dua orang muslim yanng tidak mau berbicara (lantaran bermusuhan).” (HR. Ibnu Majah)

Abu Hurairah ra. berkata, Nabi SAW senantiasa berpuasa pada hari senin dan kamis dan bersabda : “Amal perbuatan (hamba) dihadapkan kepada Allah pada kedua hari itu. Aku suka bila amal perbuatanku dihadapkan kepadaNYA dalam keadaan aku berpuasa.” (HR. Tirmidzi)

7) Puasa di bulan Muharram
Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda : “Sholat yang paling afdhol selain sholat fardhu adalah sholat sunnah di waktu pertengahan malam, dan puasa yang paling afdhol setelah puasa bulan ramadhan adalah puasa pada bulan Allah yaitu bulan muharram.” (HR. Muslim).

Hari-hari yang Diharamkan/Makruh Puasa

  • Hari raya Idhul Fitri dan Idul Adha.
  • Pada hari tasyrik, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
    Dari Nabaisyah Al-Hudzaili ra, ia berkata Rasulullah SAW bersabda : “Hari Tasyrik itu adalah hari makan, minum dan menyebut nama Allah SWT.” (HR. Muslim).

  • Hari syak yakni hari yang diragukan tentang adanya hilal pada awal Ramadhan atau masih pada akhir bulan Sya’ban. Menurut sebagian ulama puasa pada hari syak hukumnya makruh.

  • Puasa khusus pada hari jum’at, karena hari jum’at adalah hari raya mingguan bagi umat Islam. Menurut jumhur ulama, puasa pada hari jum’at hukumnya makruh. Jika seseorang berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya atau bertepatan dengan hari arofah atau ‘asyuro maka tidak dilarang.

  • Puasa khusus pada hari sabtu dilarang dan makruh hukumnya, karena hari sabtu adalah hariyang diagungkan oleh orang Yahudi.

  • Puasa pada setelah pertengahan bulan Sya’ban menurut sebagian ulama hukkumnya makruh.

  • Puasa terus menerus sepanjang tahun termasuk dua hari raya dan hari tasyrik hukumnya haram. Jika puasa terus menerus kecuali pada duahari raya dan hari tasyrik hukumnya makruh, sebagian ulama berpendapat tidak makruh.

Dzikir dan Do’a

Dzikir

Kata “dzikr” menurut bahasa artinya ingat. Sedangkan dzikir menurut pengertia syariat adalah mengingat Allah SWT dengan maksud untuk mendekatkan diri kepadaNya. Kita diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah untuk selalu mengingat akan kekuasaan dan kebesaranNya sehingga kita bisa terhindar dari penyakit sombong dan takabbur.

“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab : 41).

Berdzikir dapat dilakukan dengan berbagai cara dan dalam keadaan bagaimamanapun, kecuali ditempat yang tidaksesuai dengan kesucian Allah. Seperti bertasbih dan bertahmid di WC.

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran : 191).

Bentuk dan Cara berdzikir :

a. Dzikir dengan hati, yaitu dengan cara bertafakur, memikirkan ciptaan Allah sehingga timbul di dalam fikiran kita bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Kuasa. Semua yang ada di alam semesta ini pastilah ada yang menciptakan, yaitu Allah SWT. Dengan melakukan dzikir seperti ini, keimanan seseorang kepada Allah SWT akan bertambah.

b. Dzikir dengan lisan (ucapan), yaitu dengan cara mengucapkan lafazh-lafazh yang di dalammya mengandung asma Allah yang telah diajarkan oleh Rasulullah kepada ummatnya. Contohnya adalah : mengucapkan tasbih, tahmid, takbir, tahlil, sholawat, membaca Al-Qur’an dan sebagainya.

c. Dzikir dengan perbuatan, yaitu dengan cara melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Yang harus diingat ialah bahwa semua amalan harus dilandasi dengan niat. Niat melaksanakan amalan-amalan tersebut adalah untuk mendapatkan keridhoan Allah SWT. Dengan demikian menuntut ilmu, mencari nafkah, bersilaturahmi dan amalan-amalan lain yang diperintahkan agama termasuk dalam ruang lingkup dzikir dengan perbuatan.

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.(QS. Al-Baqarah : 152).

D o a

Menurut bahasa “ad-du’aa” artinya memanggil, meminta tolong, atau memohon sesuatu. Sedangkan doa menurut pengertian syariat adalah memohon sesuatu atau memohon perlindungan kepada Allah SWT dengan merendahkan diri dan tunduk kepadaNya. Doa merupakan bagian dari ibadah dan boleh dilakukan setiap waktu dan setiap tempat, karena Allah SWT selalu bersama hamba-hambaNya.

“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al-Mu’min : 60).

Bagi orang mu’min yang ingin mendapatkan keberhasilan dalam kehidupan ada dua hal yang harus dilakukan, yaitu berusaha atau kerja keras dan berdoa. Kedua cara tersebut harus ditempuh, karena di dalam kehidupan ini ada hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh pemikiran manusia. Oleh karena itu, di dalam memecahkan masalah ini kehidupan kedua cara ini harus ditempuh secara bersama-sama.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berdoa :

a. Memulai berdoa dengan membaca basmalah (karena malakukan perbuatan yang baik hendaknya dimulai dengan basmalah), hamdalah dan sholawat.

Dari Fadhalah bin Ubaidillah ia berkata : Rasulullah telah bersabda : “Apabila seseorang di antara kamu berdoa hendaklah memuji kepada Allah dan berterima kasih kepadaNya, kemudian membaca shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad, kemudian berdoa sesuai keinginannya.”

b. Mengangkat kedua tangan ketika berdoa dan mengusapkan kedua tangan pada wajah setelah selesai.

Dari Umar bin Al-Khatthab ia berkata : Rasulullah SAW apabila berdoa mengangkat kedua tangannya, dan tidak menurunkan kedua tangan itu sampai beliau mengusapkan kedua tangan itu pada wajah beliau.

c. Ketika berdoa disertai dengan hati yang khusyu dan meyakini bahwa doa itu pasti dikabulkan Allah SWT.

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : Rasulullah SAW telah bersabda : “Berdoalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu meyakini doa itu akan dikabulkan olehNya. Ketahuilah bahwa Allah SWT tidak memperkenankan doa dari hati yang lalai dan lengah.” (HR. At-Turmudzi).

d. Menggunakan suara yang lemah lembut (tidak perlu dengan suara yang keras) karena sesungguhnya Allah itu dekat.

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah : 186).

e. Menggunakan lafazh-lafazh doa yang terdapat di dalam Al-Qur’an atau yang terdapat dalam hadits, namun jika tidak ada lafazh yang sesuai dengan keinginan kita, maka boleh dengan lafazh yang sesuai dengan keinginan kita.

Waktu yang Baik Untuk berdoa

a. Waktu tengah malam atau sepertiga malam yang terakhir dan waktu setelah sholat lima waktu.
Dari Abu Umamah ra, ia berkata : Rasulullah SAW ditanya oleh shabat tentang doa yang lebih didengar oleh Allah SWT. Rasulullah SAW menjawab : “Yaitu pada waktu tengah malam yang terakhir dan sesudah shalat fardhu.” (HR. At-Turmudzi).

Dari Jabir ra. : “Sesungguhnya pada waktu malam ada suatu saat di mana seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah baik yang terkait dengan urusan duniawi maupun ukhrowi niscaya Allah mengabulkannya dan saat itu ada setiap malam.” (HR. Muslim).

b. Pada hari Jum’at.
Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya ketika Rasulullah SAW membicarakan hari jum’at beliau bersabda : “Pada hari itu ada suatusaat apabila seorang muslim yang sedang sholat bertepatan dengan saat itu kemudian ia memohon kepada Allah, niscaya Allah mengabulkan permohonannya.” Dan beliau memberi isyarat bahwa waktu itu sangat sebentar. (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

c. Waktu antara adzan dan iqomah.
Dari Anas bin Malik ia berkata : Rasulullah SAW telah bersabda : “Doa diantara adzan dan iqomah tidak ditolak.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Turmudzi).

d. Waktu seseorang sedang berpusa.
“Ada tiga golongan yang tidak ditolak doa mereka, uaitu : orang yang berpuasa sampai iaberbuka, kepala negara yang adil, dan orang-orang yang teraniaya.” (HR. At-Turmudzi dengan sanad yang hasan).

Sujud Tilawah dan Sujud Syukur

Sujud Tilawah

Tilawah secara bahasa artinya bacaan. Sujud tilawah menurut perngertian syara’ adalah sujud yang dilakukan ketika seseorang membaca atau mendengar ayat-ayat sajdah dibacakan orang lain. Sujud tilawah dapat dilakukan pada waktu shalat, juga di luar shalat. Hukumnya ialah sunnah.

Dari Abi Hurairah ra, Nabi SAW bersabda : “Apabila seseorang membaca ayat sajdah, lalu ia sujud, maka syaitan menghindar dan menangis serta berkata : Hai, celaka, anak Adam (manusia) diperintahkan sujud kemudia dia sujud, maka baginya syurga, dan saya pernah diperintahkan sujud juga, tetapi sayang enggan, maka bagi saya neraka.” (HR. Muslim).

Dari Ibnu Umar ra, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membaca Al-Qur’an di depan kami, ketika beliau membaca ayat sajdah beliau takbir lalu sujud, kami pun sujud pula bersama-sama beliau.” (HR. At-Turmudzi).

Bacaan sujud tilawah :

“Aku sujud kepada Tuhan yang telah menjadikan dan membentuk aku dan telah membukakan pendengaran dan penglihatan dengan kekuasaan dan kekuatanNya. Maha Berkah Allah, Dialah sebaik-baik pencipta.”

Menurut Ibnu Sakan, bacaan sujud ini dibaca tiga kali. Ada satu riwayat yang menyatakan bahwa jika sujud tilawah dilakukan pada waktu shalat, maka sebaiknya yanng dibaca adalah “subhaana robbiyal a’laa wa bihamdih”.

Syarat-syarat Sujud Tilawah
a. Suci dari hadats dan najis.
b. Menghadap kiblat.
c. Menutup aurat.
d. Ketika membaca atau mendengar ayat sajdah.

Rukun Sujud Tilawah (di luar shalat) :
a. Niat
b. Takbiratul Ihram.
c. Sujud satu kali.
d. Memberi salam sesudah duduk
e. Tertib

Ayat-ayat Sajdah :
a. Surat Al-A’raf : 206
b. Surat Ar-Ra’du : 15
c. Surat An-Nahl : 50
d. Surat Al-Isra : 109
e. Surat Maryam : 58
f. Surat Al-Hajj : 18
g. Surat Al-Furqan : 60
h. Surat An-Naml : 26
i. Surat As-Sajdah : 15
j. Surat Shod : 24
k. Surat An-Najm : 62
k. Surat Al-Insyiqaq : 21
l. Surat Al-Alaq : 19

Sujud Syukur
Syukur artinya berterima kasih kepada Allah. Sujud Syukur ialah sujud yang dilakukan ketika sesorang memperoleh keni’matan Allah atau terhindar dari bahaya. Hukumnya adalah sunnah.

Sujud syukur dilakukan di luar sholat, dan mengenai syarat dan rukunnya sama seperti sujud tilawah.

Dari Abu Bakrah, sesungguhnya Nabi SAW apabila mendapat sesutau yang menyenangkan atau diberi khaba gembira segera tunduk sujud sebagai tanda syukur kepada Allh SWT. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Turmudzi yang menganggap hadits hasan).

Dalam hadits lain disebutkan bahwa sesungguhnya Ali ra. ketika menulis surat kepada Nabi SAW untuk memberitahukan masuk Islamnya suku Hamazan beliau sujud dan setelah mengangkat kepalanya beliau bersabda : “Selamat sejahteera atas suku Hamazan.”

Shalat Sunnah

Yang dimaksud dengan sjolat sunnah adalah semua sholat selain sholat fardhu lima waktu, shalat jum’at dan shalat jenazah. Yang dimaksud dengan amalan sunnah ialah suatu amalan yang pabila dilakukan, pelakunya akan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan yang meninggalkannya tidak berdosa.

Shalat sunnah banyak macamnya, antara lain :

1. Shalat Rawatib, yaitu shakat sunnah yang mengiringi shalat fardhu baik dikerjakan sebelum atau sesudah shalat fardhu. Shalat rawatib yang dikerjakan sebelumm shalat frdhu disebuat shalat qabliyah, dan uang dikerjakan sesudah shalat fardhu disebut shalat ba’diyah.

Shalat rawatib tersebut adalah :
– Dua/empat rakaat sebelum zhuhur
– Dua rakaat setelah zhuhur
– Dua rakaat sesudah maghrib
– Dua rakaat sesudah isya
– Dua rakaat sebelum shalat shubuh

Dari Abdullah bin Umar ia berkata : Saya ingat dari Rasulullah SAW mengerjakan shalat dua rakaat sebelum zhuhur, dua rakaat sesudah zhuhur, dua rakaat sesudah maghrib, dua rakaat sesudah isya dan dua rakaat sebelum shubuh. (HR. Al-Bukhori).

Keutamaan shalat sunnah rawatib dinyatakan dalam hadits-hadits berikut :

Dari Aisyah ra, dari Nabi SAW beliau telah bersabda : “Dua rakaat sebelum fajar itu lebih baik daripada dunia dan segala isinya.” (HR. Muslim).

“Siapa yang shalat sehari semalam 12 rakaat maka dibangunlah baginya sebuah rumah di syurga, yaitu 4 rakaat sebelum zhuhur, 2 rakaat sesudah zhuhur, 2 rakaat seudah maghrib, 2 rakaat sesudah isya, dan 2 rakaat sebelum shubuh.” (HR. At-Turmudzi adn ia menyatakan bahwa hadits ini hasan dan shahih).

2. Shalat Lail, yaitu shalat yang dikerjakan pada waktu malam hari. Di antara shalat lail adalah :

  • Shalat witir, yaitu shalat sunnah yang dilakukan pada malam hari dengan jumlah rakaat ganjil, paling sedikit satu rakaat dan paling banyak sebelas rakaat. Cara melaksanakannya boleh memberi salam tiap-tiap dua rakaat dan yang terakhir boleh satu atau tiga rakaat. Jika dilaksanakan dengan tiga rakaat maka tidak usah membaca tasyahud wala agar tidal serupa dengan shalat maghrib. Waktu pelaksanannya sesudah shalat isya hingga terbit fajar dan seyogyanya shalat witir ini sebagai penutup dari seluruh sholat pada malam hari.

    Dari Abu Ayyub ra berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Sholat witir itu hak bagi orang muslim, barang siapa yang senang melakukan sholat witir 5 rakaat maka lakukanlah. barang siapa yang senang melakukan sholat witir 3 rakaat maka lakukanlah. barang siapa yang senang melakukan sholat witir 1 rakaat saja maka lakukanlah.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

    “Lakukanlah sholat witir lima, tujuh, sembilan, atau sebelas rakaat.” (HR. Al-Baihaqi dan Al-Hakim).

    Dari Jabir ra : Rasulullah SAW bersabda : “Barang siapa yang khawatir tidak bisa melakukan sholat witir di akhir malam maka hendaklah berwitir pada permulaan malam. barang siapa yang berkeinginan untuk sholat di akhirnya maka hendaklah berwitir pada akhirnya, sebab sesungguhnya sholat pada akhir malam itu disaksikan oleh para malaikat. dan itu yang lebih afdhol.” (HR. Muslim dan Tirmidzi).

    Dari Ali ra dia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Wahai Ahlul Qur’an, shalat witirlah, sesungguhnya Allah ganjil, senang kepada ganjil.” (HR. Imam lima. Hadits Shohih menurut Huzaimah).

    Dari Tolq bin Ali dia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Tidak diperkenankan dua witir dalam satu malam.” (HR. Ahmad dan Tiga imam. Hadits Shohih menurut Ibnu Hibban).

  • Shalat Tahajjud, yaitu shalat sunnah yang dilaksanakan pada malam hari. Waktu yang paling baik adalah dilaksanakan sesudah bangun tidur setelah shalat isya di sepertiga malam terakhir. Jumlah rakaat sedikitnya dua rakaat dan paling banyak adalah 8 rakaat. Dalam banyak riyawat disebutkan bahwa beliau SAW shalat 8 rakaat setiap malam baik pada Ramadhan maupun di luar Ramadhan.

    Firman Allah SWT : “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Israa : 79).

    Dari Abu Hurairoh ra dia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah sholat malam.” (HR. Muslim)

    Dari Jabir ra berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Dua rakaat yang dilakukan di pertengahan malam bisa melebur beberapa kesalahan.” (HR. Dailami)

    Bilal ra berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Hendaklah kamu senantiasa menjalankan sholat malam, sebab sesungguhnya sholat malam adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang sholeh sebelummmu, pendekatan diuri kepada Allah, mencegah dosa, menghapus beberapa kejahatan dan bisa menolak penyakit yang menyerang tubuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

    Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Semoga Allah memberi rahmat kepada orang laki-laki yang bangun malam, lalu menjalankan sholat dan membangunkan istrinya lalu turut sholat. bila sang istri tidak mau, maka sang suami memercikkan air di muka sang istri.

    Semoga Allah meberikan rahmat kepada seorang istri yang bangun di waktu malam, lantas mengerjakan sholat dan membangunkan suaminya lalu sang suami melakukan sholat. bila sang suami tidak mau maka sang istri memercikkan air ke muka sang suami (HR. Abu Dawud dan Ahamd).

    Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Bila seorang laki-laki bangun di waktu malam, lalu membangunkan istrinya, lantas mereka sholat dua rakaat maka mereka termasuk orang-orang yang banyak berdzikir (HR. Abu Dawud dan Nasa’i).

  • Shalat Tarawih, yaitu sholat sunnah yang dikerjakan pada malam hadri pada bulan ramadhan. Hukummnya sunnah muakkad baik bagi laki-laki maupun perempuan. Waktu pelaksanaannya adalah setelah shalat isya sampai waktu shubuh. Mengenai jumlah bilangan rakaat shalat tarawih terdapat beberapa perbedaan di antara para ulama. Sebagian berpendapat 8 rakaat, sebagian lain ada yang berpendapat 20 rakaat dan 36 rakaat.

    Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW menganjurkan agar beribadah pada bulan Ramadhan, beliau tidak meyuruh dengan keras hanya beliau bersabda : “Barang siapa yang melakukan ibadah pada bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan kepada Allah, maka akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

    Dari Aisyah ra : Sesungguhnya Nabi SAW shalat di masjid lalu orang-orang ikut shalat bersama mengikuti beliau, lalu pada malam kedua beliau shalat lagi dan orang-orang sudah banyak (yang ikut), kemudian orang-orang berkumpul pada malam ketiga atau keempat, tapi Rasulullah SAW tidak keluar menemui mereka. Ketika sudah pagi beliau bersabda:

    “Saya sudah melihat apa yang kalian lakukan, tidak ada yang menghalangiku untuk keluar menemui kalian kecuali karena aku takut kalau (shalat tarawih) itu diwajibkan atas kamu semua”. (HR. Muttafaq ‘Alaih).

3. Shalat ‘Idain (Hari Raya), yaitu shalat sunnah pada dua hari raya, idul fitri (1 Syawal) dan idul adha (10 Dzulhijjah). Hukumnya adalah sunnah muakkad dan Rasulullah selalu melaksanakannya.

Dari Ibnu Abbas ra. sesungguhnya Nabi SAW shalat pada hari raya dua rakaat, beliau tidak shalat sebelum dan sesudahnya. (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

Dari Ummu ‘Athiyyah ia berkata : Rasulullah SAW telah menyuruh kami pada hari raya Idul fitri dan Idul Adha agar kami membawa para gadis, perempuan yang sedang haidh, dan perempuan yang bertutup (memakai cadar) ke tempat shalat hari raya. Adapun perempuan yang sedang haidh mereka tidak melaksanakan sholat. (HR Al-Bukhori dan Muslim).

Shalat ‘Idain boleh dilaksanakan di masjid atau di lapangan agar wanita yang sedang haidh dapat mendengarkan khutbah di lapangan tersebut.
Dalam sebuah hadits dinyatakan : Bahwa pada suatu hari raya hujan turun, maka Nabi SAW melaksanamakn shalat dengan sahabt-sahabatnya di masjid. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan AL-Hakim).

Sunnah-sunnah Shalat ‘Idain

  • Dilaksanakan dengan berjamaah
  • Takbir tujuh kali pada rakaat pertama (setelah doa iftitah) dan lima kali pada rakaat kedua.
  • Mengangkat tangan setiap kali takbir.
  • Membaca tasbih di antara takbir, dengan lafazh “subhanallaah wal hamdulillaah wa laa ilaaha illallah wallaahu akbar” (Maha Suci Allah, segala puji bagi Allah, tidak ada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar).

  • Membaca surat Al-A’laa pada rakaat pertama dan Al-Ghosyiyah pada rakaat kedua, atau surat Qaaf pada rakaat pertama dan surat Al-Qomar pada rakaet kedua.

  • Menyaringkan bacaan takbir, Al-Fatihah dan surat.
  • Khutbah dua kali setelah shalat.
  • Khatib memulai khutbah pertama dengan sembilan kali takbir dan khutbah kedua dengan tujuh kali takbir.

  • Mandi dan berhias diri, memakai wangi-wangian serta mengenakan pakaian yang terbagus.

  • Makan sebelum sholat Idul fitri, dan tidak makan sebelum sholat Idul Adha.
  • Membaca takbir di luar shalat, mulai terbenam matahari hingga khatib naik ke mimbar (untuk shalat Idul Fitri), dan mulai dari shubuh hari Arafah sampai waktu ashar hari terakhir tasyrik (untuk shlata Idul Adha).

4. Shalat Khusuf dan Kusuf
Shalat Khusuf adalah shalat sunnah ketika terjadi gerhana bulan, sedang shalat kusuf adalah shalat sunnah ketika terjadi gerhana matahari.

“Dan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah Yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.” (QS. Al-Fushshilat : 37).

“Sesungguhnya matahari dan bulan keduanya menjadi tanda adanya Allah dan kekuasaanNya. Keduanya menjadi gerhana bukan karena kematian seseorang bukan pula karena hidupnya seseorang. Maka apabila kamu melihat keduanya gerhana, maka berdoa’alah kepada Allah dan shalatlah hingga habis gerhana itu.” (HR Al-Bukhori dan Muslim).

Pelaksanakannya boleh berjama’ah boleh pula sendiri, dengan cara-cara sebagai berikut :

  • Berdiri dengan niat shalat gerhana ketika takbiratul ihram, lalu membaca Al-Fatihah dan surat/ayat kemudian ruku’ lalu berdiri kembali dan membaca Al-Fatihah dan surat/ayat yang kedua kali, lalu ruku’, i’tidal dan sujud dua kali. Yang demikian itu terhitung satu rakaat. Kemudian diteruskan rakaat kedua seperti rakaat pertama, dan diakhri dengan salam. Jadi shalat gerhana ini dilaksanakan dua rakaat, empat kali membaca Al-Fatihah dan surat, empat kali ruku’, dan empat kali sujud.

  • Cara kedua sama seperti cara pertama hanya saja berdiri agak lama dengan membaca surat yang panjang dan ruku’nya agak lama. Al-Fatihah dan surat dibaca dengan suara keras baik gerhana matahari atau bulan. Hal ini karena Rasulullah mengeraskan suara pada waktu shalat gerhana. Sebagian ulama berpendapat bahwa untuk gerhana bulan dengan suara keras, sedang gerhana matahari tidak dikeraskan.

  • Cara yang ketiga sama seperti melaksanakan shalat sunnah yang lain. Setelah shalat dilanjutkan dengan khutbah yang isinya antara lain menyuruh manusia bertaubat dari perbuatan dosa dan menyruh beramal kebaikan.

5. Shalat Tahiyyatul Masjid, yaitu shalat untuk menghormari masjid. Bagi orang yang masuk masjid disunnahkan untuk melakukan shalat tahiyyatul masjid sebanyak dua rakaat sebelum dia duduk di masjid itu (untuk i’tikaf).

Dari Abu Qatadah, Rasulullah SAW besabda : “Apabila salah seorang diantara kalian masuk ke masjid, maka hendaklah ia tidak duduk sebelum melakukan shalat dua rakaat.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

6. Shalat Dhuha, ialah sholat sunnah yang dilakukan pada waktu dhuha (mulai matahari setinggi tombak pada pagi hari sampai mendekati waktu zhuhur). Shalat dhuha sedikit-dikitnya adalah dua rakaat dan sebanyak-banyaknya adalah dua belas rakaat.

Dari Abu Hurairah ia berkata : Telah berpesan kepadaku (Rasulullah SAW) tiga macam pesan, yaitu berpuasa tiga hari tiap-tiap bulan, shalat dhuha dua rakaat dan shalat witir sebelum tidur.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Dari Anas, Nabis SAW bersabda : “Barang siapa yang sholat dhuha 12 rakaat Allah akan membuatkan baginya istana di syurga.” (HR. At-Turmudzi dan Ibnu Majah).

7. Shalat Istisqo, yaitu shalat sunnah yang dilakukan untuk memohon kepad Allah SWT agar diturunkan hujan. Shalat ini dilaksanakan pada saat musim kemarau panjang.

Caranya dapat dilakukan dengan :

  • Dengan berdoa baik sendiri-sendiri atau beramai-ramai.
  • Berdoa dalam khutbah jum’at.
  • Yang paling sempurna adalah dengan melakukan shalat iatisqo. Dalam sebuah hadits :
    Rasulullah SAW telah keluar pergi untuk meminta hujan lalu beliau berpaling membelakangi orang banyak. Beliau mengahadap kiblat dan beliau balikkan selendang beliau. (HR. Muslim).

Sebelum melaksanakan shalat, semua orang baik laki atau perempuan, tua muda, bahkan orang lemah pun diusahakan untuk ikut ke lapangan. Sebelum itu hendaklah salah seorang diantara mereka (tokoh) memberikan nasehat agar mereka bertaubat dari segala dosa, dan berhenti dari kezaliman dan segera beramal kebajikan.

Sebelum pergi ke lapangan hendaklah mereka berpuasa empat hari berturut-turut. Pada hari ke empat mereka menuju lapangan dengan pakaian yang sederhana. Mereka berjalan tenang serta merendahkan diri dengan penuh harap pertolongan Allah SWT. Kemudian kahtib berdiri dan berkhutbah yang dimulai dengan istighfar, hamdalah, serta syahadat seperti dalam shalat jum’at. Di dalam khutbah hendaknya khatib mengajak jama’ah untuk bertaubat dan menerangkan bahwa Allah Maha Pemurah kepada seluruh hambaNya jika hambaNya bersungguh-sungguh dalam berdoa dan memohon kepadaNya. Kemudian berdoa.

Setelah berdoa, kemudian melaksanakan shalat dua rakaat tanpa adzan dan iqomah. Pada rakaat pertama membaca surat Al-A’la setelah Al-Fatihah dan pada rakaat kedua membaca surat Al-Ghosyiyah.

8. Shalat Istikharah, ialah shalat sunnah yang dilakukan untuk memohon petunjuk kepada Allah atau dipilihkan antara beberapa pilihan yang paling baik untuk dilaksanakan.

Dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW mengajarkan kami minta petunjuk dalam perkara-perkara yang penting. Beliau bersabda : “Jika salah seorang di antara kamu menghendaki suatu pekerjaan maka hendaklah ia shalat dua rakaat lalu berdoa.” (HR. Al-Bukhori).

 

Shalat Jenazah

Shalat jenazah adalah shalat yang dikerjakan sebanyak 4 kali takbir dalam rangka mendoakan orang muslim yang sudah meninggal. Jenazah yang disholatkan adalah jenazah yang telah dimandikan dan dikafankan.

Hukum melaksanakan sholat jenazah adalah fardhu kifayah (kewajiban yang ditujukan kepada orang banyak, tetapi apabila sebagian dari mereka telah mengengrjakannya maka gugurlah kewajiban bagi yang lain). Jika tidak ada seorang pun yang mengerjakan kewajiban itu maka mereka berdosa semua.

Rasulullah SAW bersabda : “Shalatkanlah mayat-mayatmu!” (HR. Ibnu Majah).

“Shalatkanlah olehmu orang-orang yamg sudah meninggal yang sebelumnya mengucapkan Laa ilaaha illallaah.” (HR. Ad-Daruruquthni).

Keutamaan orang yang menshalatkan jenazah dijelaskan dalam hadits berikut :

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda : ” Siapa yang mengiringi jenazah dan turut menshalatkannya maka ia memperoleh pahal sebesar satu qirath (pahala sebesar satu gunung), dan siapa yang mengiringinya sampai selesai penyelenggaraannya, ia akan mamperoleh dua qirath.” (HR. Jama’ah dan Muslim).

Syarat Shalat Jenazah
1. Menutup aurat, suci dari hadats besar dan kecil, bersih badan, pakaian dan tempat dari najis serta menghadap kiblat. Hal ini sama seperti sholat biasa.

2. Jenazah telah dimandikan dan dikafankan.

3. Letak jenazah di sebelah kiblat orang yang menshalatkan kecuali shalat ghoib.

Rukun Shalat Jenazah
1. Niat
2. Berdiri bagi yang mampu.
3. Takbir empat kali.
4. Membaca surat Al-Fatihah.
5. Membaca sholawat atas Nabi.
6. Mendoakan mayat.
7. Memberi salam.

Sunnat Shalat Jenazah
1. Mengangkat tangan pada tiap-tiap takbir (empat takbir)
2. Merendahkan suara bacaan (sirr)
3. Membaca ta’awuz
4. Disunnahkan banyak pengikutnya
5. Memperbanyak shaf

“Setiap orang mu’min yang meninggal, lalu dishalatkan oleh umat Islam yang banyaknya sampai tiga shaf akan diampuni dosanya. Oleh sebab itu Malik bin Hubairah selalu berusaha membentuk tiga shaf, jika jumlah orang yang shalat jenazah tidak banyak. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Shalat Gahaib
Shalat ghaib adalah shalat atas jenazah yang tidak bersama-sama dengan orang yang menshalatkan, meskipun jenazah itu sudah dikuburkan. Demikian juga sholat di atas kubur, sebagaimana hadits berikut :

Dari Jabir ra, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda : “Telah meninggal hari ini seorang laki-laki yang shaleh di negeri Habsyi. Maka berkumpullah dan shalatlah kamu untuk dia.” Lalu kami membuat shaf di belakang beliau, lalu sholat untuk mayat itu sedangkan kami bershaf-shaf. (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi SAW telah shalat di atas sebuah kubur setelah sebulan lamanya (dari kematian orang itu. (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni).

Shalat Dalam Keadaan Darurat

Ibadah shalat merupakan ibadah yang tidak dapat ditinggalkan walau dalam keadaan apapun. Hal ini berbeda dengan ibadah-ibadah yang lain seperti puasa, zakat dan haji. Jika seseorang sedang sakit pada bulan ramadhan dan tidak mampu untuk berpuasa, maka ia boleh tidak berpuasa dan harus menggantinya pada hari lain. Orang yang tidak mampu membayar zakat ia tidak wajib membayar zakat. Demikian pula halnya dengan ibadah haji, bila seseorang tidak mampu maka tidak ada kewjiban baginya.

Shalat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan bagi setiap muslim selama masih memiliki akal dan ingatannya masih normal. Kewajiban tersebut harus dilakukan tepat pada waktunya. Halangan untuk tidak mengerjakan shalat hanya ada tiga macam, yaitu hilang akal seperti gila atau tidak sadar, karena tidur dan lupa (namun demikian ada kewajiban mengqadha di waktu lain).

Betapa pentingnya ibadah shalat ini, Rasulullah pernah bersabda :

“Urusan yang memisahkan antara kita (orang-orang Islam) dengan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Oleh sebab itu siapa yang meninggalkan shalat, sungguh ia telah menjadi kafir.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

Shalat Dalam Keadaan Sakit

Orang yang sedang sakit harus tetap melakukan shalat lima waktu, selama akal atau ingatannya masih tetap normal. Cara melaksanakannya sesuai dengan kemampuan orang yang sakit tersebut. Jika ia tidak mampu shalat dengan berdiri, maka ia boleh shalat dengan duduk. Jika ia tidak mampu dengan duduk, boleh shalat dengan berbaring ke sebelah kanan menghadap kiblat. Jika ia tidak mampu berbaring boleh shalat dengan terlentang dan isyarat.

Yang termasuk dalam arti tidak mampu adalah apabila ia mendapatkan kesulitan dalam berdiri atau duduk, atau sakitnya akan bertambah apabila ia berdiri atau ia takut bahaya. Hal ini dijelaskan dalam hadits sebagai berikut :

Dari Ali bin Abu Thalib ra. telah berkata Rasulullah SAW tentang shalat orang sakit : “Jika kuasa seseorang shalatlah dengan berdiri, jika tidak kuasa shalatlah sambil duduk. Jika ia tidak mampu sujud maka isyarat saja dengan kepalanya, tetapi hendaklah sujud lebih rendah daripada ruku;nya. Jika ia tidak kuasa shalat sambil duduk, shalatlah ia dengan berbaring ke sebelah kanan menghadap kiblat. Jika tidak kuasa juga maka shalatlah dengan terlentang, kedua kakinya ke arah kiblat.” (HR. Ad-Daruquthni).

Shalat dalam Kendaraan

Orang yang sedang berada dalam kendaraan mengalami situasi yang berbeda. Ada yang di dalam kendaraan itu bisa tenang seperti dalam kapal laut yang besar, adakalanya sesorang tidak merasa nyaman seperti berada di dalam bis yang sempit. Untuk melakukan shalat di kendaraan ini tentunya di sesuaikan dengan jenis kendaraan yang ditumpanginya.

Rasulullah SAW pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bagaimana cara sholat di atas perahu. Beliau bersabda : “Sholatlah di dalam perahu itu dengan berdiri kecuali kalau kamu takut tenggelam.” (HR. Ad-Daruquthni).

Bila selama perjalanan (dengan kendaraan) itu masih dapat turun dari kendaraan, maka hendaknya kita melaksanakan sholat seperti dalam keadaan normal. Tetapi bila memang tidak ada kesempatan lagi untuk turun dari kendaraan seperti bila naik pesawat terbang, maka kita melakukan shalat di atas kendaraan itu. Hal ini dilakukan mengingat :

1. Shalat adalah ibadah yang wajib dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan baik secara normal atau dengan menjama‘. Sedangkan meninggalkan sholat walau dalam safar lalu mengerjakan bukan pada waktunya tidak didapati dalil/contoh dari Rasullullah.

2. Kendaraan di masa Nabi SAW adalah berupa hewan tunggangan (unta, kuda dan lain-lain) yang dapat dengan mudah kita turun dan melakukan shalat. Bila dalam shalat wajib Nabi SAW tidak shalat di atas kendaraannya, maka hal itu karena Nabi melakukan shalat wajib wajib secara berjamaah yang membutuhkan shaf dalam shalat. Atau pun juga beliau ingin shalat wajib itu dilakukan dengan sempurna.

3. Sedangkan kendaraan di masa kini bukan berbentuk hewan tunggangan, tetapi bisa berbentuk kapal laut, kapal terbang, bus atau kereta api. Jenis kendaraan ini ibarat rumah yang berjalan karena besar dan sesorang bisa melakukan shalat dengan sempurna termasuk berdiri, duduk, sujud dan sebagainya. Dan meski tidak bisa dilakukan dengan sempurna, para ulama membolehkan shalat sambil duduk dan berisyarat. Selain itu kendaraan ini tidak bisa diberhentikan sembarang waktu karena merupakan angkutan massal yang telah memiliki jadwal tersendiri.

4. Tetapi bila kita naik mobil pribadi atau sepeda motor, maka sebaiknya berhenti, turun dan melakukan shalat wajib di suatu tempat agar bisa melakukannya dengan sempurna.

5. Sedangkan riwayat yang mengatakan bahwa Nabi tidak pernah shalat wajib di atas kendaraan juga diimbangi dengan riwayat yang menceritakan bahwa Nabi SAW berperang sambil shalat di atas kuda/ kendaraan. Tentunya ini bukan salat sunnah tetapi shalat wajib karena shalat wajib waktunya telah ditetapkan.

Shalat Jama’ dan Qashar

Shalat Jama’
Menurut bahasa shalat jama’ artinya shalat yang dikumpulkan. Sedangkan menurut syariat Islam ialah dua shalat fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu karena ada sebab-sebab tertentu.

Shalat yang Boleh Dijama’
Shalat yang boleh dijama’ adalah shalat zhuhur dengan shalat ashar, dan shalat maghrib dengan shalat isya.
Shalat jama’ ada dua macam, yakni :

a. Jama’ Taqdim yaitu shalat zhuhur dan shalat ashar dikerjakan pada waktu zhuhur, atau shalat maghrib dengan shalat isya dikerjakan pada waktu maghrib.

b. Jama’ Ta’khir yaitu shalat zhuhur dan shalat ashar dikerjakan pada waktu ashar atau shalat maghrib dan isya dikerjakan pada waktu isya.

Hukum melaksanakan shalat jama’ adalah mubah (boleh) bagi orang yang dalam perjalanan dan mencukupi syarat-syaratnya. Dalam sebuah hadits dinyatakan :

Dari Muadz bin Jabal : “Bahwa Rasulullah SAW pada saat perang Tabuk, apabila beliau berangkat sebelum tergelincir matahari beliau mengakhirkan shalat zhuhur sehingga beliau kumpulkan dengan ashar (beliau sholat zhuhur dan azhar pada waktu ashar). Jika beliau berangkat sesudah tergelincir matahari beliau melaksanakan sholat zhuhur dan ashar sekaligus kemudian beliau berjalan. Jika beliau berangkat sebelum maghrib beliau mengakhirkan sholat maghrib sehingga beliau mengerjakan sholat maghrib dan isya, dan jika beliau berangkat sesudah waktu maghrib beliau mengerjakan sholat isya dan beliau sholat isya beserta maghrib.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan At-Turmudzi).

Cara Melaksanakan Jama’ Taqdim

a. Shalat zhuhur dan ashar dilakukan pada waktu zhuhur. Mula-mula mengerjakan shalat zhuhur 4 rakaat (pada waktu itu berniat melaksanakan shalat ashar pada waktu zhuhur). Setelah selesai mengerjakan shalat zhuhur kemudian iqomah dan langsung mengerjakan shalar ashar 4 rakaat.

b. Shalat maghrib dan isya dilakukan pada waktu maghrib. Mula-mula mengerjakan shalat maghrib 3 rakaat (pada waktu itu berniat melaksanakan shalat isya pada waktu maghrib). Setelah selesai mengerjakan shalat maghrib kemudian iqomah dan langsung mengerjakan shalar isya 4 rakaat.

Syarat Jama’ Taqdim

a. Berniat jama’ pada waktu melaksanakan sholat yang pertama.
b. Berturut-turut karena keduanya seolah-seolah satu sholat.

Cara Melaksanakan Jama’ Takhir

a. Shalat zhuhur dan ashar dilakukan pada waktuashar. Ketika masih dalam waktu zhuhur berniat bahwa shalat zhuhur akan dilaksanakan pada waktu ashar. Setelah masuk waktu ashar ia mengerjakan shalat zhuhur 4 rakaat, setelah selesai dilanjutkan dengan iqomah dan langsung mengerjakan shalat ashar 4 rakaat.

b. Shalat maghrib dan isya dilakukan pada waktu isya. Ketika masih dalam waktu maghrib berniat bahwa shalat maghrib akan dilaksanakan pada waktu isya. Setelah masuk waktu ashar ia mengerjakan shalat maghrib 4 rakaat, setelah selesai dilanjutkan dengan iqomah dan langsung mengerjakan shalat isya 4 rakaat.

Syarat Jama’ Takhir

Berniat pada waktu yang pertama bahwa ia akan shalat yang pertama itu pada shakat yang yang kedua supaya ada maksud yang kuat akan mengerjakan shalat yang yang pertama.

Shalat Qashar

Shalat qashar menurut bahasa ialah shalat yang diringkas, yaitu meringkas shalat yang jumlahnya 4 rakaat menjadi 2 rakaat. Dalam hal ini shalat yang dapat diringkas adalah zhuhur, ashar dan isya.

Hukum Shalat Jama’ dan Qashar

Menurut mazhab Syafi’i hukum shalat jama’ dan qashar adalah jaiz (boleh), bahkan lebih baik bagi orang yang dalam perjalanan dan telah mencukupi syarat-syaratnya. Allah SWT berfirman :

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisaa : 101).

Syarat Sah Shalat Jama’ dan Shalat Qashar

  1. Perjalanan yang dilakukan bukan untuk maksiat (terlarang), seperti pergi untuk berjudi dan sebagainya.

  2. Perjalanan tersebut berjarak lebih dari 88,656 km atau perjalanan sehari semalam.
    Dari Ibnu Syaibah dari arah yang lain berkata : “Qashar shalat dalam jarak perjalanan sehari semalam”.
    Adalah Ibnu Umar ra dan Ibnu Abbas ra mengqashar shalat dan buka puasa pada perjalanan menempuh jarak 4 burd yaitu 16 farsakh. Ibnu Abbas menjelaskan

Sholat Berjama’ah

Kata “jama’ah” berarti kumpul. Sholat berjamaah dari segi bahasa artinya sholat yang dikerjakan bersama-sama oleh lebih dari satu orang. Sedangkan menurut pengertian syara’ adalah sholat yang dikerjakan bersama-sama oleh dua orang atau lebih, salah seorang diantaranya bertindak sebagai imam sedangkan lainnya manjadi ma’mum.

Shalat jama’ah dapat dilakukan paling sedikit oleh dua orang dan dapat dilaksanakan di rumah, surau, masjid atau tempat layak lainnya. Tempat yang paling utama untuk mengerjakan shalat fardhu adalah di masjid, demikian juga shalat jama’ah. Makin banyak jumlah jama’ahnya makin utama dibandingkan dengan shalat jama’ah yang sedikit pesertanya.

“Shalat seorang bersama dengan seorang lainnya lebih baik daripada sholat seorang diri, shalat seseorang bersama dua orang lebih lebih baik daripada sholat seseorang bersama satu orang. Jika jama’h itu lebih banyak pesertanya maka jama’ah itu lebih disenangi oleh Allah Ta’ala.” (HR. Abu Dawud dan Nasai dari Ubay bin Ka’ab).

Shalat berjama’ah sangat besar manfaatnya karena di samping dapat mempererat persaudaraan juga dapat menambah syiar Islam. Sholat berjama’ah juga mempunyai derajat yang lebih tinggi dibandingkan dengan sholat sendirian. Rasulullah SAW bersabda :

“Shalat berjama’ah melebihi keutamaan sholat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim dari Ibnu Umar).

Hukum Sholat Berjam’ah

Hukum sholat berjama’ah menurut sebgaian ulama adalah fardhu ‘ain, sebagian lain berpendapat fardhu kifayah dan sebagian lagi berpepndapat sunnah muakkadah (sunnah yang dikuatkan/sangat dianjurkan). Pendapat yang terakhir ini dianggap sebagai pendapat yang paling kuat, kecuali shalat berjama’ah dalam sholat jum’at.

Shalat jama’ah lima waktu di masjid, lebih baik bagi orang laki-laki daripada shalat jama’ah di rumah kecuali sholat sunnah. Bagi peremupuan (terutama yang masih muda) lebih baik di rumah daripada di masjid, karena itu lebih aman bagi mereka.

“Rasulullah SAW bersabda : “Wahai manusia sholatlah kamu di rumah masing-masing, seseungguhnya sebaik-baik sholat adalah ialah sholat sesroang di rumahnya kecuali sholat lima waktu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

“Jangan kamu larang perempuan-perempuan ke masjid walaupun rumah mereka lebih baik bagi mereka untuk beribadah.” (HR. Abu Dawud).

Ketentuan Menjadi Imam

Orang yang berhak menjadi imam dijelaskan dalam hadit berikut :

Dari Abi Said ra, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda :”Jika mereka bertiga hendaklah maka hendaklah mereka jadikan imam sakah seorang di antara mereka dan yang paling patut di antara mereka untuk menjadi imam ialah yang paling fasih bacaannya.” (HR. Muslim).

Adapun ketentuan-ketentuan menjadi imam adalah sebagai berikut :

  • Laki-laki, perempuan, dan banci boleh menjadi ma’mum kepada laki-laki.
  • Perempuan tidak boleh menjadi imam untuk laki-laki.
  • Orang dewasa boleh ma’mum kepada anak yang sudah mumayyiz (hampir dewasa).
  • Hamba sahaya boleh ma’mum kepada orang yang merdeka atau sebaliknya.
  • Laki-laki tidak boleh menjadi ma’mum kepada banci atau perempuan.
  • Banci tidak boleh ma’mum kepada perempuan.
  • Orang yang sedang ma’mum kepada orang lain tidak boleh dijadikan imam.
  • Tidak boleh ma’mum kepada orang yang diketahui bahwa shalatnya tidak sah (batal). Contohnya tidak boleh ma’mum kepada orang yang berhadats.


Syarat-syarat Menjadi Ma’mum

  • Ma’mum hendaklah berniat mengikuti imam. Adapun imam tidak disyaratkan berniat menjadi imam.

  • Ma’mum harus mengikuti segala gerakan imam dan tidak boleh mendahului imam.
    “Sesungguhnya dijadikan imam itu untuk diikuti perbuatannya. Apabila imam takbir maka hendaklah kamu takbir dan apabila imam ruku’ hendaklah kamu ruku’ pula.” (HR.`Bukhori – Muslim).

  • Ma’mum mengetahui gerak-gerik imam baik diketahui dengan melihat imam sendiri atau melihat ma’mum yang mengikuti imam atau mendengarkan suara imam.

  • Imam dan ma’mum harus satu tempat.
  • Tempat berdiri ma’mum adalah di belakang imam.
  • Imam dan ma’mum hendaklah sama aturan shalatnya. Artinya tidak sah shalat fardhu yang lima waktu mengikuti kepada shalat gerhana atau sholat jenazah, karena aturan kedua shalat tidak sama.


Susunan Shaf

Posisi ma’mum bila satu orang adalah di sebelah kanan imam agak mundur sedikit. Bila datang lagi satu orang, maka orang ini berdiri di samping kiri ma’mum pertama. Dalam pada itu ada dua kemungkinan yang musti dilakukan. Pertama, imam bergeser agak ke depan untuk memberikan ruang buat sujud kedua ma’mum di belakangnya dan mengambil posisi tengah/sentris. Kedua, ma’mum pertama mundur ke belakang sejauh ruang untuk sujud baginya dan bersama dengan ma’mum kedua, keduanya berdiri di belakang imam secara sentris pula. Bila datang lagi ma’mum ketiga, maka dia mengambil posisi di sebelah kanan barisan, yaitu sebelah kanan ma’mum pertama. Bila datang lagi ma’mum ke empat, maka mengambil posisi di sebelah kiri shaf atau sebelah kiri ma’mum kedua. Begitu seterusnya sehingga posisi iman selalu berada di tengah-tengah (sentris).

Jika jama’ah terdiri dari beberapa shaf, ada laki-laki dan perempuan, maka pengaturan shafnya adalah di belakang imam shaf laki-laki dewasa, kemudian shaf anak laki-laki, kemudian shaf anak perempuan, lalu shaf perempuan dewasa.

“Nabi SAW mengatur shaf laki-laki dewasa di depan shaf anak-anak dan shaf perempuan di belakang shaf anak-anak.” (HR. Muslim).

Shaf hendaklah lurus dan rapat, jangan ada tempat yang renggang antara seorang ma’mum dengan ma’mum lainnya.

“Dari Abu Umamah ra. ia berkata : Rasulullah bersabda : “Penuhkanlah (rapatkanlah) olehmu jarak yang kosong di antara kamu, maka sesungguhnya syaithon dapat masuk di antara kamu seperti anak kambing.” (HR. Ahmad).

Hukum Masbuq

Masbuq artinya tertinggal dari imam yaitu orang yang mengikuti sholat berjama’ah tetapi tidak sempat mengikutinya sejak imam melakukan takbiratul ihram (sejak rakaat pertama).

Cara ma’mum mengikuti imam yang tertinggal adalah dengan mengerjakan gerakan sebagaimana yang sedang dikerjakan imam. Jika ma’mum masih sempat mendapati imam berlum ruku’ atu sedang ruku’ dan dia dapat melaksanakan ruku’ dengan sempurna maka ma’mum tadi terhitung meengikuti jama’ah satu rakaat (hendaknya berusaha membaca surat Al-Fatihah walaupun satu ayat sebelum ruku’). Jika imam selesai sholat, sedangkan ma’mum masih kurang bilangan rakaatnya maka ma’mum menambah kekurangan rakaatnya setelah imam mengucapkan salam.

“Jika salah seorang di antara kamu datang untuk melaksanakan sewaktu kami sujud, maka sujudlah dan jangan kamu hitung yang demikian itu satu rakaat. Siapa yang mendapatkan ruku’ beserta imam maka ia telah mendapatkan satu rakaat.” (HR. Abu Dawud).

Sunnah-sunnah dalam Shalat Berjama’ah

  • Meluruskan shaf dan merapatkannya.
  • Mengisi shaf terdepan bila masih kosong.
  • Bila dilakukan hanya oleh dua orang maka posisi ma’mum b adalah di sebelah kanan imam agak mundur sedikit.

  • Imam mengeraskan suara takbir, tasmi’ dan salam.
  • Imam mengeraskan bacaan Al-Fatihah dan surat/ayat pada rakaat pertama dan kedua dalam shalat jahriyyah dan surat yang dibaca hendaknya tidak terlalu pendek atau terlalu panjang. Hal ini karena masing-masing jama’ah mempunyai kekuatan dan kepentingan yang berbeda-beda.