Category Archives: Kisah

Berdagang dengan Allah swt

he-is-always-there-1

BIsmilahirohmanirohim..

Rasulullah SAW terbiasa mengajarkan kepada sahabat-sahabatnya untuk senantiasa bersabar atas segala sesuatu yang menimpa mereka. Termasuk dalam masalah lapar sekalipun.

Mereka senantiasa mengencangkan ikat pinggang. Bila tidak ada sama sekali yang dimakan, maka mereka pun akan berpuasa. Itulah yang dicontohkan Rasul SAW kepada sahabat-sahabatnya.

Suatu hari, seusai mendengarkan nasihat-nasihat yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya di Masjid Nabawi Madinah, maka pulanglah Ali bin Abi Thalib ke rumahnya.

Sesampai di rumahnya, ia menemui istrinya, Fatimah, putri Rasulullah SAW, yang sedang duduk memintal benang.

“Wahai perempuan yang mulia, adakah suatu makanan yang dapat dimakan oleh suamimu ini?” tanya Ali.

Fatimah pun menjawab, “Demi Allah, aku tidak mempunyai sesuatu pun. Tetapi, aku punya uang enam dirham yang akan kugunakan untuk membeli makanan buat Hasan dan Husein.”

“Tolong, berikanlah uang tersebut kepadaku,” ujar Ali. Kemudian Fatimah memberikan uang itu kepada Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, Ali pun segera keluar membawa uang enam dirham itu untuk membeli makanan buat Hasan dan Husein.

Dalam perjalanan, Ali melihat seorang laki-laki yang sedang berdiri di dekat pohon kurma, dengan pakaian yang sangat kumal. Rupanya ia seorang pengemis. Melihat ada yang mendekat, pengemis itu pun meminta kepada Ali.

” Wahai tuan, siapakah yang hendak mengutangi Allah dengan piutang yang baik?” ujar laki-laki tersebut seraya mengutip ayat Al-Quran surah Al-Baqarah [2] ayat 245.

“Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat-gandakan pembayaran kepadanya dengan kelipatan yang lebih banyak. Dan Allah akan menyempitkan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”

Maka secara spontan Ali pun memberikan semua yang dimilikinya itu tanpa sisa. Setelah itu, ia pun segera kembali ke rumahnya dengan hati yang sangat lapang dan penuh kepuasan.

Namun, ketika Fatimah menyaksikan suaminya yang pulang tanpa membawa apa pun, maka menangislah putri Raswlullah SAW ini. Menyaksikan hal itu, Ali pun bertanya, “Wahai perempuan yang mulia, mengapa engkau menangis?”

Fatimah menjawab, “Wahai putra paman Rasulullah SAW, kulihat engkau tidak membawa apa-apa dari uang yang aku berikan tadi. Mengapa bisa demikian? Bagaimana makanan Hasan dan Husein?”

Ali pun kemudian menyampaikan kejadian yang sesungguhnya. “Wahai perempuan yang mulia, sesungguhnya uang itu telah aku pinjamkan kepada Allah,” jelas Ali.

Mendengar hal itu, maka Fatimah pun tersenyum seraya berkata, “Engkau benar wahai suamiku.”

Maka selesailah untuk sementara persoalan yang mereka hadapi. Namun, bagaimana dengan hari esok?

Ali pun kemudian berpamitan pada Fatimah. Ia bermaksud menemui Rasulullah SAW. Di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan seorang Arab dusun yang sedang menuntun seekor unta betina.

Orang Arab dusun tersebut berkata kepada Ali. “Hai Bapak Hasan, belilah unta ini dariku.”

Ali menjawab, “Aku tidak memiliki uang.”

“Gampang saja. Beli saja unta ini, dan nanti engkau bisa membayarnya setelah laku,” kata Arab dusun itu.

“Berapa engkau akan menjual unta ini?” tanya Ali.

“Seratus dirham,” jawabnya.

“Baiklah. Kalau begitu aku membelinya,” kata Ali.

Setelah semuanya disepakati, berpisahlah Ali dengan orang Arab dusun tersebut. Ali lalu membawa unta betina itu untuk dijual.

Saat menuntun unta tersebut, tiba-tiba datanglah orang Arab dusun lainnya. Ia bertanya kepada Ali. “Wahai bapak Hasan, apakah engkau akan menjual unta ini.” Ali pun mengiyakannya.

“Berapa engkau akan menjualnya?” tanya Arab dusun itu.

“Seratus enam puluh dirham,” kata Ali. (Dalam riwayat lain disebutkan, jumlahnya hingga tiga ratus dirham).

“Baiklah, aku beli unta itu,” jawab Arab dusun tersebut. Maka ia pun membayar harga unta itu kepada Ali bin Abi Thalib.

Setelah itu, Ali kemudian mencari Arab dusun yang pertama. Dan saat bertemu, ia serahkan harga unta yang dibelinya itu dengan harga seratus dirham.

Selanjutnya, Ali pun pulang dan bertemu dengan istri tercinta, Sayyidah Fatimah az-Zahra. Ali kemudian memberikan semua uang yang didapatkannya hari itu kepada Fatimah. Istrinya heran melihat dirham yang demikian banyak itu. Ia pun bertanya kepada Ali dari mana sumber dana yang didapatkan itu.

“Inilah hasil kita berdagang dengan Allah,” kata Ali. Maka tersenyumlah Fatimah. Ali kemudian menceritakan peristiwa yang dialaminya hari itu kepada Fatimah. Mereka bertanya-tanya, siapakah gerangan kedua orang Arab dusun itu? Ali kemudian mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan hal itu.

Rasul menjelaskan bahwa orang yang menjual unta itu adalah malaikat Jibril, dan yang membelinya adalah malaikat Mikail. Sedangkan unta itu adalah tunggangan Fatimah di hari kiamat.

 

Kisah para nabi

Kisah Nyata : Seorang Wanita Koma di Tanah Suci

Bismillhirohmanirohim
KematianSelama hampir sembilan tahun menetap di Mekah sambil mengurus jemaah haji dan umrah, saya telah melalui berbagai pengalaman menarik dan juga pahit. Bagaimanapun, dalam banyak-banyak peristiwa itu, ada satu kejadian yang pasti tidak akan saya lupakan sampai kapanpun. Yaitu pengalaman terhadap seorang wanita yang berusia 30-an. Kejadian itu terjadi ketika saya mengurus satu rombongan haji.
Setibanya wanita tersebut dan rombongan haji di Lapangan Terbang Jeddah kami sambut dengan sebuah bus. Semuanya nampak riang karena itulah kali pertama mereka mengerjakan haji. Ketika sampai, saya membawa mereka menaiki bus dan dari situ, kami menuju ke Madinah.
Alhamdulillah, segalanya berjalan lancar hinggalah kami sampai di Madinah. Tiba di Madinah, semua orang turun dari bus. Turunlah mereka seorang demi seorang sehingga tiba kepada giliran seorang wanita.
Tapi tanpa sebab apa-apa, ketika kakinya mencecahkan bumi Madinah, tiba-tiba wanita itu tumbang tidak sedarkan diri. Sebagai orang yang dipertanggungjawabkan mengurus jemaah itu, saya pun bergegas menuju ke arah wanita tersebut.
“Jemaah ni sakit” kata saya pada jemaah-jemaah yang lain.Suasana yang tadinya tenang serta merta bertukar menjadi cemas.
Semua jemaah nampak panik dengan apa yang sedang terjadi.
“Badan dia panas dan menggigil. Jemaah ni tak sedarkan diri, cepat tolong saya…kita bawa dia ke rumah sakit,” kata saya.
Tanpa membuang waktu, kami mengangkat wanita tersebut dan membawanya ke RS Madinah yang terletak tidak jauh dari situ.
Sementara itu, jemaah yang lain diantar ke tempat penginapan masing-masing.
Sampai di RS Madinah, wanita itu masih belum sedarkan diri. Berbagai usaha dilakukan oleh dokter untuk memulihkannya, namun semuanya gagal.
Tibalah waktu petang, wanita itu masih lagi koma. Sementara itu, tugas membimbing jemaah harus saya teruskan. Saya terpaksa meninggalkan wanita tersebut terlantar di RS tersebut. Namun dalam kesibukan menguruskan jemaah, saya menyempatkan diri menghubungi RS Madinah untuk mengetahui perkembangan wanita tersebut. Bagaimanapun, saya diberitahu dia masih tidak sedarkan diri.
Setelah dua hari, wanita itu masih juga tidak sedarkan diri. Saya makin cemas, maklumlah, itu adalah pengalaman pertama saya berhadapan dengan situasi seperti itu. Memandangkan usaha untuk memulihkannya semuanya gagal, maka wanita itu dihantar ke Hospital Abdul Aziz Jeddah untuk mendapatkan rawatan lanjut sebab pada waktu itu RS di Jeddah lebih lengkap fasilitasnya dibandingkan RS Madinah. Namun usaha untuk memulihkannya masih tidak berhasil. Jadual haji mesti diteruskan. Kami bertolak pula ke Mekah untuk mengerjakan ibadat haji. Selesai haji, sekali lagi saya pergi ke Jeddah.
Malangnya, ketika sampai di Hospital King Abdul Aziz, saya diberitahu oleh doktor bahawa wanita tersebut masih koma. Bagaimanapun, kata dokter, keadaannya stabil. Melihat keadaannya itu, saya ambil keputusan untuk menunggunya di hospital. Setelah dua hari menunggu, akhirnya wanita itu membuka matanya. Dari sudut matanya yang terbuka sedikit itu, dia memandang ke arah saya. Tapi sebaik saja terpandang wajah saya, wanita tersebut terus memeluk saya dengan erat sambil menangis terisak- isak.
Maka sayapun  terkejut karena saya ini bukanlah mahramnya. Tambahan lagi ketika dia tiba-tiba menangis??
Saya bertanya kepada wanita tersebut, “Kenapa Saudari menangis?”
“Ustaz….saya taubat dah Ustaz. Saya menyesal, saya takkan berbuat hal buruk lagi. Saya bertaubat, betul-betul taubat.”
“Kenapa pulak anda tiba-tiba saja ingin bertaubat?” tanya saya masih heran.
Wanita itu terus menangis terisak-isak tanpa menjawab pertanyaan saya itu.
Kemudian dia bersuara, menceritakan kepada saya mengapa dia berkelakuan demikian, cerita yang bagi saya perlu diambil iktibar oleh kita semua.
Katanya, “Ustaz, saya ini sudah berumah tangga, kawin dengan lelaki kulit putih. Tapi saya silap. Saya ini cuma Islam pada nama dan keturunan saja.
Ibadah satu apa pun saya tak jalani. Saya tidak sembahyang, tidak puasa, semua amalan ibadah saya dan suami saya tidak ada yang dijalani.
Rumah saya penuh dengan botol arak. Suami saya itu saya sering saya tendangi, dan saya pukul-pukul juga,” katanya tersedu-sedu.
“Jadi kenapa anda ingin pergi haji seperti ini?”
“Iyalah…saya lihat orang pergi haji, jadi sayajuga ingin pergi.”
“Jadi apa yang menyebabkan anda menangis sampai seperti ininya. Apakah ada sesuatu yang anda alami semasa sakit?” tanya saya lagi.
Dengan suara tersekat-sekat, wanita itu menceritakan,
“Ustaz…Allah itu Maha Besar, Maha Agung, Maha Kaya. Sewaktu koma itu, saya telah diazab dengan siksaan yang benar-benar pedih atas segala kesalahan yang telah saya buat selama ini.
“Benarkah itu?” tanya saya, terkejut.
“Benar Ustaz. Semasa koma itu saya telah ditunjukkan oleh Allah tentang balasan yang Allah berikan kepada saya. Balasan azab Ustaz, bukan balasan syurga.
Saya merasa seperti diazab di neraka. Saya ini seumur hidup tak pernah pakai jilbab. Sebagai balasan, rambut saya ditarik-tarik dengan bara api.
Sakitnya tidak bisa diungkapkan bagaimana sangkin pedihnya. Menjerit-jerit saya minta ampun minta maaf kepada Allah.”
“Bukan itu saja, buah dada saya pun diikat dan dijepit dengan penjepit yang dibuat daripada bara api, kemudian ditarik ke sana-sini…putus, jatuh ke dalam api neraka.
Buah dada saya rentang terbakar, panasnya bukan main. Saya menjerit, menangis kesakitan. Saya masukkan tangan ke dalam api itu dan saya ambil buah dada itu kembali.”
Wanita itu terus bercerita tanpa memperhatikan perawat2 dan pasien lain.
Tambahnya lagi, setiap hari dia disiksa, tanpa henti, 24 jam sehari.
Dia tidak diberi peluang langsung untuk istirahat atau dilepaskan dari hukuman. Selama waktu koma itu dilaluinya dengan azab yang amat pedih. Dengan suara tersekat-sekat, dengan air mata yang makin banyak bercucuran, wanita itu meneruskan ceritanya,
“Hari-hari saya disiksa. Ketika rambut saya ditarik dengan bara api, sakitnya terasa seperti tercabut kulit kepala. Panasnya pun menyebabkan otak saya terasa seperti menggelegar.
Azab itu sangat pedih… sangat pedih sekali…tak bisa diceritakan sangkin pedihnya.”
Sambil bercerita, wanita itu terus meraung, menangis terisak-isak. Nyatalah dia memang betul-betul menyesal dengan kesalahannya dahulu.
Sayapun tertegun, kaget dan menggigil mendengar ceritanya.
Begitulah balasan Allah kepada umatnya yang ingkar.
“Ustaz…saya ini nama saja Islam, tapi saya minum arak, saya main judi dan segala macam dosa besar. Kerana saya suka makan dan minum apa yang diharamkan Allah, sewaktu tkoma itu saya telah diberi makan buah-buahan yang berduri tajam. Tak ada isi pada buah itu melainkan duri-duri saja, tapi saya harus makan buah-buah itu karena saya memang sangat lapar.
“Ketika buah2 itu ditelan, duri-durinya menikam kerongkong saya dan ketika sampai ke perut, ia menikam perut saya juga. Sedangkan jari yang tercucuk jarum pun terasa sakit, ini pulalah duri-duri besar yang menyucuk kerongkong dan perut kita. Setelah buah itu habis saya makan, saya diberi makan bara-bara api.
Ketika saya masukkan bara api itu ke dalam mulut, seluruh badan saya terasa seperti terbakar hangus.
Panasnya cuma Allah saja yang tahu. Api yang ada di dunia ini tidak akan sama dengan panasannya api tadi.

Setelah habis bara api, saya minta minuman, tapi…saya dihidangkan pula dengan minuman yang dibuat dari nanah. Baunya sangat busuk. Tapi saya terpaksa minum karena saya sangat kehausan. Semua terpaksa saya lalui…azabnya tidak pernah rasa, tidak pernah saya alami sepanjang saya hidup di dunia ini.”

Saya terus mendengar cerita wanita itu dengan tekun. Terasa sungguh kebesaran Allah.
“Masa diazab itu, saya merayu mohon kepada Allah supaya berilah saya nyawa sekali lagi, berilah saya peluang untuk hidup sekali lagi. Tak berhenti-henti saya memohon. Saya kata saya akan buktikan bahawa saya tak akan ulangi lagi kesalahan yang telah saya perbuat dahulu. Saya berjanji tidak akan mengingkari perintah Allah dan akan jadi umat yg soleh. Saya berjanji kalau saya dihidupkan kembali, saya akan perbaiki segala kekurangan dan kesilapan saya dahulu, saya akan mengaji, akan sembahyang, akan puasa yang selama ini saya tinggalkan.”
Saya termenung mendengar cerita wanita itu. Benarlah, Allah itu Maha Agung dan Maha Berkuasa.
Kita manusia ini tak akan terlepas daripada balasannya. Kalau baik amalan kita maka baiklah balasan yang akan kita terima, kalau buruk amalan kita, maka azablah kita di akhirat kelak.
Alhamdulillah, wanita itu telah menyaksikan sendiri kebenaran Allah.
“Ini bukan mimpi ustaz. Kalau mimpi azabnya takkan mungkin sepedih itu rasanya.
Saya bertaubat Ustaz, saya tak akan mengulangi lagi kesilapan saya yang dulu. Saya bertaubat… saya taubat Nasuha,” katanya sambil menangis-nangis.
Sejak itu wanita berkenaan benar-benar berubah. Sewaktu saya membawanya ke Mekah, dia menjadi jemaah yang paling warak. Amal ibadahnya tak henti-henti. Contohnya, kalau wanita itu pergi ke masjid pada waktu maghrib, dia cuma akan balik ke kamrnya lagi stelah sembahyang subuh.
“Maaf, tapi anda hendaklah menjaga kesehatan anda juga, setelah selesai shalat isya anda kan bisa kembali ke kamar untuk makan nasi dahulu, dan istirahat sejenak” tegur saya.
“Gak papa ustaz, saya ada membawa buah kurma, jadi bisa dimakan ketika saya merasa lapar.” jawabnya.
Menurut wanita itu, sepanjang berada di dalam Masjidil Haram, dia mengqadakan semula sembahyang yang ditinggalkannya dahulu.
Selain itu dia berdoa, mohon kepada Allah supaya mengampunkan dosanya. Saya kasihan melihatkan keadaan wanita itu, takut kerana ibadah dan tekanan perasaan yang keterlaluan dia akan jatuh sakit pula.
Jadi saya menasihatkan supaya tidak beribadah yang terlalu hingga mengabaikan kesihatannya.
“Gak bisa Ustaz. Saya takut…saya sudah merasai pedihnya azab Tuhan. Ustaz tidak merasakan, Ustaz tidak tau. Kalau Ustaz sudah merasakan azab itu, Ustaz juga akan menjadi seperti saya. Saya betul- betul bertaubat.”
Wanita itu juga berpesan kepada saya, katanya, “Ustaz, kalau ada perempuan Islam yang tak pakai jilbab, Ustaz ingatkanlah pada mereka, pakailah jilbab.”
Cukuplah saya seorang saja yang merasakan siksaan itu, saya tidak mau wanita lainpun menjadi seperti saya.
Sewaktu diazab, saya lihat ketetapan yang Allah beri ialah setiap sehelai rambut wanita Islam yang sengaja diperlihatkan kepada orang lelaki yang bukan mahramnya, maka dia diberikan satu dosa.
Kalau 10 orang lelaki bukan mahram melihat sehelai rambut saya ini, bermakna saya mendapat 10 dosa.”
“Tapi Ustaz, rambut saya ini banyak jumlahnya, beribu-ribu. Kalau seorang tlihat rambut saya, ini bermakna beribu-ribu dosa yang saya dapat. Kalau 10 orang yang melihat, bagaimana? Kalau 100 orang melihat? Itu sehari, kalau hari-hari kita tidak memakai jilbab macam saya ni??? Allah…”
“Saya berniat, balik saja dari haji ini, saya akan minta tolong dari ustaz supaya mengajari suami saya sembahyang, puasa, mengaji, untuk beribadah. Saya akan mengajak suami saya pergi haji. Sebagaimana saya, suami saya tu Islam pada nama saja. Tapi itu semua kesalahan saya.
Saya sudah berhasil membawanya masuk Islam, tapi saya tidak membimbing dia. Bukan itu saja, sayapun malah yang jadi seperti orang bukan Islam.”
Sejak kembali dari haji tersebut, saya tidak mendengar lagi cerita tentang wanita tersebut. Bagaimanapun, saya percaya dia sudah menjadi wanita yang benar-benar solehah. Apakah dia berbohong kepada saya tentang ceritanya diazab ketika koma?
Tidak. Saya percaya dia berbicara jujur. Jika dia berbohong, kenapa dia berubah dan bertaubat Nasuha?
Satu lagi, cobalah bandingkan azab yang diterimanya itu dengan azab yang digambarkan oleh Allah dan Nabi dalam Al-Quran dan hadith. Adakah ia bertolakbelakang?
Benar, apa yang berlaku itu memang kita tidak dapat membuktikannya secara saintifik, tapi bukankah soal dosa dan pahala, syurga dan neraka itu perkara ghaib?
Janganlah bila kita sudah meninggal dunia, bila kita sudah diazab barulah kita mahu percaya bahawa “Oh… memang betul apa yang Allah dan Rasul katakan. Aku menyesal…” Itu dah terlambat.
REBUTLAH 5 PELUANG INI SEBELUM TIBA 5 RINTANGAN
WAKTU KAYA SEBELUM MISKIN, WAKTU SENANG SEBELUM SIBUK, WAKTU SEHAT SEBELUM SAKIT, WAKTU MUDA SEBELUM TUA DAN WAKTU HIDUP SEBELUM MATI.

Merenunglah Sejenak Saja

Bismillahirohmanirohim…

kaligrafiPerang Tabuk semakin dekat. Terlihat guratan wajah keheranan merambah wajah para sahabat. Terlebih wajah para sahabat terkemuka. Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bi Affan dan ALi bin Abi Thalib menatap wajah Rosulullah saw dengan tatapan penuh tanya.

Mereka sama sekali tidak menyangka akan ada kalimat tanya dari Rosulullah saw, “Apakah kalian benar-benar beriman?”.

Para sahabat tidak menjawab. Mereka tidak habis mengerti. Tiga belas tahun mereka menyertai Rosulullah saw di Mekah. Hijrah ke Madinahpun mereka lakukan. Ada yang harus meninggalkan istri dan anaknya. Ada pula yang harus meninggalkan orang tuanya.

Yang pasti para sahabat meninggalkan harta benda dan tanah iirnya. Mereka senantiasa berada di sisi Rosulullah saw diberbagai peperangan sebelumnya. Karena itu, mereka tidak menjawab. Namun Rosulullah saw malah mengulang pertanyaannya sebanyak tiga kali.

Akhirnya Umar bin Khattab menjawab, “Benar ya Rosulullah. Mereka benar-benar beriman dan aku seperti mereka.”

Mendengar jawaban Umar, Rosulullah saw pun tersenyum. Sesaat Rosulullah saw bertanya lagi, “Apakah kalian benar-benar sabar?”.

Para sahabat yang sempat lega melihat senyum Rosulullah saw kembali terdiam. Diam dalam keheranannya. Sulit bagi mereka untuk memahami kalimat tanya itu. Karena itu, mereka kembali tidak menjawab.

Namun Rosulullah saw kembali mengulang pertanyaannya hingga tiga kali. Lagi-lagi Umar bin Khatab menjawab, “Benar ya Rosulullah. Mereka adalah komunitas yang benar-benar sabar. Dan aku seperti mereka.”

Ada senyum lega tersungging di wajah Rosulullah saw ketika mendengar jawaban Umar bin Khattab. Begitulah cara Rosulullah saw, mengajak para sahabat untuk merenung sejenak. Merenung tentang hal yang paling mendasar, yaitu tentang iman dan sabar. Menakar iman dan sabar yang paling tepat adalah disaat kritis, disaat tidak normal. Disaat seperti itu, terlihat jelas kondisi kita sesungguhnya. Terlebih lagi pada saat menjelang perang.

Dipuncak kondisi kritis Rosulullah saw mengajak para sahabat untuk merenung sejenak tentang iman dan sabar. Pada kondisi sulit memang akan terukur kedalaman iman dan kekuatan sabar kita.Iman akan menjadi penyebab seluruh aktivitas kita. Akibat amal yang paling kita damba adalah cinta dan ridhaNYA.

Karenanya kita harus berupaya untuk senantiasa bersabar berada dijalanNYA, yaitu jalan ibadah dan dakwah. Dengan beribadah, kita bisa berbuat shalih untuk diri kita sendiri.Sedangkan melalui dakwah, kita bisa amat bermanfaat untuk orang lain.

Karenanya merenunglah sejenak saja. Merenung tentang iman dan sabar. Tentang cinta dan ridhaNYA. Setelah itu, merenunglah tentang orangtua, istri, suami dan anak-anak kita. Bahkan merenunglah tentang surga dan neraka. Atau merenunglah tentang apa saja dan siapa saja yang bisa menggairahkan iman kita. Merenunglah sejenak lalu rasakan manisnya iman.

***

(*disalin dari Simfoni Cinta oleh Hamy Wahjunianto)

Sidik Jari Dalam Kubur

Bismillahirohmanirohim

Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi

darkforestSaya mengerti jika anda menganggap judul kisah ini cukup mengherankan, tetapi kejadian yang diceritakan sesungguhnya lebih mengherankan lagi. Kisah ini tentang perasaan yang telah mati dan qalbu yang tidak sedikitpun mengingat hal-hal ghaib yang patut diimani. Ini adalah kisah nyata yang terjadi beberapa tahun yang lalu di Mesir, tepatnya di kota Kairo.

Adalah sejumlah laki-laki muda bersaudara yang memiliki hubungan yang harmonis, hanya saja orang tua mereka tidak mendidik mereka dalam nuansa religius mencintai agama dan taat kepada Allah. Dia tidak mengarahkan mereka untuk mempelajari agama ini, sebaliknya pendidikan dan pembinaan yang diberikannya hanya berbau materi belaka, makanan dan minuman yang enak, pakaian yang bagus, sekolah elit, dan rumah mewah; sayang tanpa simpul agama yang menghubungkan mereka dengan Allah subhanahu wa ta’ala.

Ayah mereka memiliki sejumlah property berupa berbagai bangunan dan berbidang tanah yang luas, serta sejumlah mobil pribadi. Termasuk bangunan indah miliknya sebuah vila di bibir pantai sungai Nil. Ini semua belum termasuk sejumlah uang yang tersimpan dalam rekening banknya.

Kepastian itu pun datang, sang ayah dipagut sakaratul maut. Ketika tanda-tanda kematiannya semakin jelas, mereka, anak-anaknya itupun berkumpul di sekelilingnya. Laki-laki kaya raya yang sekarat itu berwasiat kepada mereka supaya saling mengasihi dan jangan sampai terjadi pertikaian diantara mereka. Anak-anaknya pun berjanji kepada sang ayah yang terbaring tak berdaya. Tidak berselang berapa lama, laki-laki kaya raya itupun meninggalkan segala kejayaannya di dunia ini, kematian menyudahi segala kenikmatan dunia yang sesungguhnya tiada seberapa.

Anak-anaknya pun segera menyelenggarakan kewajiban terhadap jenazah ayah mereka, memandikan, mengafani, menyalatkan, dan akhirnya meguburkannya. Selesai mengubur jenazah sang ayah, mereka keluar dari kuburannya. Tiba-tiba salah seorang du antara mereka minta izin kepada saudara-saudara serta kerabatnya yang lain untuk turun kembali ke ruang makam untuk meyakinkan bahwa jenazah sang ayah telah dibaringkan menghadap kiblat. Mereka pun mengizinkannya.

Perlu diketahui bahwa pemakaman di Mesir adalah ruang bawah tanah, di situlah jenazah dikebumikan. Cara seperti ini populer di kalangan keluarga-keluarga kaya di Mesir.

Lima belas menit berlalu, tetapi saudara mereka yang turun tersebut belum juga kembali, padahal satu atau dua menit saja harusnya sudah selesai. Mereka pun menjadi gelisah, hingga salah seorang memutuskan untuk memeriksa ke bawah.

Begitu sampai di bawah dia mendapatkan hal yang sangat mengejutkan. Dia menemukan saudaranya itu telah tewas di samping jenazah ayah mereka. Keanehan ini tidak hanya sampai disitu, karena dia menemukan saudaranya yang tewas tersebut ternyata telah membuka bagian atas kafan jenazah ayah mereka dan mengeluarkan tangannya dari bungkusan kafan. Jari jenazah tersebut dilumuri tinta. Setelah mengamati lebih teliti pahamlah dia apa yang terjadi, saudaranya itu ternyata hendak membubuhkan cap jempol ayah mereka di selembar kertas yang berisi akad bahwa sang ayah telah menjual vila di pinggir sungai Nil kepadanya, tetapi sebelum niat culasnya itu kesampaian, dia tewas di samping jenazah ayah mereka. Malaikat maut telah mengambil nyawanya. La haula wala quata illa billahil ‘aliyil ‘azhim.

Demikianlah qalbu-qalbu yang telah mati, pada saat yang seharusnya orang yang masih hidup mengambil pelajaran dari jenazah yang baru diantarnya supaya dapat mempersiapkan diri lebih baik untuk menghadapi jika hari ini datang kepadanya, ternyata sebagian kita yang masih hidup ini telah mati hatinya sebelum kematian menjemput, tidak mengambil pelajaran dan ibrah dari orang-orang yang meninggal sebelum dirinya…

Ya Allah anugerahkanlah kepada kami husnul khatimah.

(Majalah Qiblati Edisi 11 Tahun VII, Dzulqa’dah 1433 H September 2012) via bloghidayah.wordpress.com

Bulan Madu dengan Bidadari Surga

Bismillahirrahmanirrahim …

tengukPada zaman Rasulullah SAW hiduplah seorang pemuda yang bernama Zahid yang berumur 35 tahun namun belum juga menikah. Dia tinggal di Suffah masjid Madinah. Ketika sedang memperkilat pedangnya tiba-tiba Rasulullah SAW datang dan mengucapkan salam. Zahid kaget dan menjawabnya agak gugup.

“Wahai saudaraku Zahid….selama ini engkau sendiri saja,” Rasulullah SAW menyapa.
“Allah bersamaku ya Rasulullah,” kata Zahid.
“Maksudku kenapa engkau selama ini engkau membujang saja, apakah engkau tidak ingin menikah…,” kata Rasulullah SAW.

Zahid menjawab, “Ya Rasulullah, aku ini seorang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan wajahku jelek, siapa yang mau denganku ya Rasulullah?”
” Asal engkau mau, itu urusan yang mudah!” kata Rasulullah SAW.

Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan sekretarisnya untuk membuat surat yang isinya adalah melamar kepada wanita yang bernama Zulfah binti Said, anak seorang bangsawan Madinah yang terkenal kaya raya dan terkenal sangat cantik jelita. Akhirnya, surat itu dibawah ke rumah Zahid dan oleh Zahid dibawa kerumah Said. Karena di rumah Said sedang ada tamu, maka Zahid setelah memberikan salam kemudian memberikan surat tersebut dan diterima di depan rumah Said.

“Wahai saudaraku Said, aku membawa surat dari Rasul yang mulia diberikan untukmu saudaraku.”
Said menjawab, “Adalah suatu kehormatan buatku.”
Lalu surat itu dibuka dan dibacanya. Ketika membaca surat tersebut, Said agak terperanjat karena tradisi Arab perkawinan yang selama ini biasanya seorang bangsawan harus kawin dengan keturunan bangsawan dan yang kaya harus kawin dengan orang kaya, itulah yang dinamakan SEKUFU.

Akhirnya Said bertanya kepada Zahid, “Wahai saudaraku, betulkah surat ini dari Rasulullah?”
Zahid menjawab, “Apakah engkau pernah melihat aku berbohong….”

Dalam suasana yang seperti itu Zulfah datang dan berkata, “Wahai ayah, kenapa sedikit tegang terhadap tamu ini…. bukankah lebih disuruh masuk?”
“Wahai anakku, ini adalah seorang pemuda yang sedang melamar engkau supaya engkau menjadi istrinya,” kata ayahnya.

Disaat itulah Zulfah melihat Zahid sambil menangis sejadi-jadinya dan berkata, “Wahai ayah, banyak pemuda yang tampan dan kaya raya semuanya menginginkan aku, aku tak mau ayah…..!” dan Zulfah merasa dirinya terhina.

Maka Said berkata kepada Zahid, “Wahai saudaraku, engkau tahu sendiri anakku tidak mau…bukan aku menghalanginya dan sampaikan kepada Rasulullah bahwa
lamaranmu ditolak.”

Mendengar nama Rasul disebut ayahnya, Zulfah berhenti menangis dan bertanya kepada ayahnya, “Wahai ayah, mengapa membawa-bawa nama rasul?”
Akhirnya Said berkata, “Ini yang melamarmu adalah perintah Rasulullah.”

Maka Zulfah istighfar beberapa kali dan menyesal atas kelancangan perbuatannya itu dan berkata kepada ayahnya, “Wahai ayah, kenapa sejak tadi ayah berkata bahwa yang melamar ini Rasulullah, kalau begitu segera aku
harus dikawinkan dengan pemuda ini. Karena ingat firman Allah dalam Al-Qur’an surat 24 : 51. “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan. Kami mendengar, dan kami patuh/taat”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 24:51)”

Zahid pada hari itu merasa jiwanya melayang ke angkasa dan baru kali ini merasakan bahagia yang tiada tara dan segera pamit pulang. Sampai di masjid ia bersujud syukur. Rasul yang mulia tersenyum melihat gerak-gerik Zahid
yang berbeda dari biasanya.
“Bagaimana Zahid?”
“Alhamdulillah diterima ya rasul,” jawab Zahid.
“Sudah ada persiapan?”
Zahid menundukkan kepala sambil berkata, “Ya Rasul, kami tidak memiliki apa-apa.”

Akhirnya Rasulullah menyuruhnya pergi ke Abu Bakar, Ustman, dan Abdurrahman bin Auf. Setelah mendapatkan uang yang cukup banyak, Zahid pergi ke pasar untuk membeli persiapan perkawinan.
Dalam kondisi itulah Rasulullah SAW menyerukan umat Islam untuk menghadapi kaum kafir yang akan menghancurkan Islam.

Ketika Zahid sampai di masjid, dia melihat kaum Muslimin sudah siap-siap dengan perlengkapan senjata, Zahid bertanya, “Ada apa ini?”
Sahabat menjawab, “Wahai Zahid, hari ini orang kafir akan menghancurkan kita, maka apakah engkau tidak mengerti?”.
Zahid istighfar beberapa kali sambil berkata, “Wah kalau begitu perlengkapan kawin ini akan aku jual dan akan kubelikan kuda yang terbagus.”

Para sahabat menasehatinya, “Wahai Zahid, nanti malam kamu berbulan madu, tetapi engkau hendak berperang?”
Zahid menjawab dengan tegas, “Itu tidak mungkin!”
Lalu Zahid menyitir ayat sebagai berikut, “Jika bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih baik kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. 9:24).

Akhirnya Zahid (Aswad) maju ke medan pertempuran dan mati syahid di jalan Allah.

Rasulullah berkata, “Hari ini Zahid sedang berbulan madu dengan bidadari yang lebih cantik daripada Zulfah.”
Lalu Rasulullah membacakan Al-Qur’an surat 3 : 169-170 dan 2:154). “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur dijalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki. Mereka dalam
keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal dibelakang
yang belum menyusul mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.(QS 3:
169-170).

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati, bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS. 2:154).

Pada saat itulah para sahabat meneteskan air mata dan Zulfahpun berkata, “Ya Allah, alangkah bahagianya calon suamiku itu, jika aku tidak bisa mendampinginya di dunia izinkanlah aku mendampinginya di akhirat.”
Sumber: syiar-islam@yahoogroups,com

Menuju Lebih Baik

Bismilahirohmanirohim

KUPU“Jangan sekali-kali engkau menganggap jalan (merubah diri menjadi baik) itu mudah”.Jalan itu dipenuhi seseuatu yang kita benci, banyak halangan, penuh duri-duri tajam yang bisa membuat kita sakit. ( Imam Ibnul Jauzi)

Saudaraku/Saudariku,
Ternyata, hanya mengetahui suatu kemaksiatan dan mengetahui bahayanya, tidak otomatis menjadikan orang menjauhi dan meninggalkan kemaksiatan itu.Lihatlah, berapa banyak justru orang yang berilmu melakukan kemaksiatan lebih besar daripada orang yang tidak berilmu.Berapa banyak justru orang yang mengetahui bahaya kemaksiatan itu, terjerumus dilumpur kemaksiatan yang sama.

Saudara/Saudariku,
Merubah diri dari lalai menjadi taat memang tidak mudah.Mengangkat kaki dari suatu kekeliruan yang sudah lama dilakukan,lalu memindahkannya keatas jalan yang benar dan baik, itu sulit.Seperti yang dikatakan Imam Ibnul Jauzi,”Jangan sekali-kali engkau menganggap jalan (merubah diri menjadi baik) itu mudah”.Jalan itu dipenuhi seseuatu yang kita benci, banyak halangan, penuh duri-duri tajam yang bisa membuat kita sakit.

Hanya saja, jika kita sudah berhasil melewatinya, kita akan melupakan seluruh rasa sakit, seluruh keletihan itu.Jika kita telah melewatinya, kita akan merasakan kelezatan yang tak terbandingi oleh kelezatan manapun dari kelezatan duniawi yang pernah kita rasakan.

Saudara/Saudariku…

Menjadi baik itu mungkin, bagi siapa saja. Karena rentang waktu yang tersedia bagi manusia memberi kesempatan yang sangat berharga untuk berubah, berbuat dan menata ulang kepribadianya. Memang proses menjadi baik itu panjang. Tetapi keputusan untuk memulai menjadi baik hanya memerlukan waktu beberapa saat. Ya, perbaikan diri memang tak kenal henti.Tetapi kemaun dan kemantapan untuk memulai perbaikan diri hanya perlu waktu sebentar. Hanya dibutuhkan kejujuran didasar hati.Agar fitrah manusia berbicara apa adanya.Saat itu jawabannya akan langsung ada, bahwa setiap kita harus menjadi baik, dan semakin jadi lebih baik, memulai menjadi baik, atau setidaknya memilih untuk jadi baik.

Hadis Rasullullah menggaris bawahi bahwa memperbaiki diri merupakan bagian dari irama hidup seorang muslim.Seperti nampak jelas dalam sabda beliau, “ Sesungguhnya manusia itu banyak salahnya.Dan sesungguhnya sebaik-baik orang yang banyak salahnya, adalah orang yang banyak bertaubat.” (HR. Tirmidzi). Banyak salahnya, artinya kesalahan itu sangat mungkin terjadi.Maka, meratapi dan menyesali kekurangan dan kesalahan itu perlu.Tetapi yang jauh lebih perlu lagi, adalah bagaimana memperbaiki kesalahan itu.

Saudara/Saudariku,

Sunggguh indah bila seseorang selalu menata kembali dirinya dari waktu ke waktu, melakukan introspeksi diri untuk mengetahui kekurangan dan kelemahannya, alangkah baiknya kalau kita mencatat segala kekurangan dan kelemahan kita di suatu buku khusus, yang hanya kita yang tahu mengenai hal tersebut.Dimana kita bisa mengetahui keburukan dan kejelekan apa saja yang kita lakukan selama satu hari ini. Untuk selanjutnya kita berusaha memeperbaiki satu-persatu kekurangan dan kelemahan kita tersebut.

Saudara/Saudariku..

Setiap orang atau setiap pribadi pernah berbuat salah dan keliru…setiap jiwa pernah salah arah dan salah langkah…karena manusia dalam sebuah hadis dikatakan” Sesungguhnya manusia itu banyak salahnya.Dan sesungguhnya sebaik-baik orang yang banyak salahnya, adalah orang yang banyak bertaubat.” (HR. Tirmidzi).

Saudara/Saudariku….

Mari kita dengarkan indahnya uraian nasihat Imam Ibnul Jauzi dalam kitab Shaidul Khatir tentang tahapan perjalanan yang harus kita lakukan untuk menjadi lebih baik. Yang pertama menurut Imam Ibnul jauzi adalah adalah memperbanyak diam untuk melatih jiwa agar tidak banyak mengeluarkan komentar dan tidak mudah bergolak, karena dalam diam engkau akan lebih mudah meraba keburukan.Jika engkau sudah bisa merabanya, maka jiwa akan luluh dan hancur, lalu menyadari bahwa dirimu berada dijalan yang berlawanan dari kehendak Allah SWT.

berlama-lama mengingat dosa dan melupakan ketaatan mu
“Jika engkau menyadari diri telah lalai dan melakukan dosa.Jadikanlah dirimu, berlama-lama mengingat dosa itu, dan besar-besarkan ingatan tentang akibat dari kelalain itu.Munculkanlah anggapan seolah-olah kita tidak melakukan ketaatan apa-apa kecuali kemaksiatan itu.Samapai engkau yakin akan hancur bila tidak segera bertaubat.Sampai suara hati kita berteriak dan menangis.

Tinggalkan semua sebab kemaksiatan
“Tapi, jika jiwamu tidak bangkit, dan air mata tidak mengucur juga, sampaikanlah kepada hati dan jiwa bahwa engkau tetap harus lepas diri dari kemaksiatan itu.Dan langkah ini tidak akan terjadi kecuali jika engkau tinggalkan semua sebab kemaksiatan, meninggalkan semua orang, semua teman, semua benda yang menjadi sebab dan tangga maksiat.

Lemahkan jiwa dengan rasa lapar
“Jika Jiwamu masih belum bisa melakukan itu dan menolaknya, maka hancurkanlah kekerasan jiwa dengan memperbanyak puasa, hinakanlah ia dengan rasa lapar.Karena sesungguhnya jiwa jika mengalami rasa sakit karena lapar, ia kan tunduk, mau mendengar dan cenderung pasrah untuk menerima apa saja.”

Perangi sikap menunda-nunda
“Bahwa tekad meninggalkan kemaksiatan sangat rentan dengan gangguan menunda-nunda, dengan seribu satu alasan, jika engkau mendapati jiwa ingin menunda-nunda untuk kembali, dan membayangkan waktu masih panjang atau pendek, bawalah ia secara paksa untuk mengingat tak ada ajal yang bisa diperkirakan.

Selanjutnya jiwa yang sudah dikosongkan dari kemaksiatan harus segera diisi dengan kebalikan dari apa yang telah telah ditinggalkan dan mencari teman untuk jiwamu yang bisa memberi petunjuk, daripada teman yang bisa melupakan.

Saudara/Saudariku…
JIka ini bisa kita lakukan, kelak cahaya ketaatan pengganti kelalaian itu akan terus merasuki jiwa dan semakin bersinar-sinar mengusir kegelapan hawa nafsu.

Saudara/ saudari ku
Sungguh waktu kita singkat saudaraku. Sebelum semuanya berakhir, sebelum nyawa sampai ke tenggorokan. Maka kita harus memperbaiki diri. Karena seorang muslim itu dituntut untuk melakukan perbaikan diri. Bukankah Rasul kita menganjurkan agar hari ini lebih baik baik dari hari kemaren, itu baru bisa disebut beruntung.Seandainya hari ini lebih buruk dari kemaren, maka kita dianggap celaka.Bahkan jika hari ini sama dengan hari kemaren maka kita dianggap merugi. oleh: Ahmad Bin Ismail Khan

Salam Ukhuwah karenaNya & Senyum Santun
Ummi Githa

Malaikat Inilah Yang Akan Mendatangi Kita Ketika SAKIT

Bismilahirohmanirohim

malaikatTak perlu Anda bersedih dalam sakit karena itu adalah ujian dalam ibadah Anda. Salah satu bukti kasih sayang-NYA adalah, Tuhan mengutus 4 malaikat untuk selalu menjaga kita dalam sakit. Berikut adalah penjelasannya;

“Apabila seorang hamba yang beriman menderita sakit, maka Allah memerintahkan kepada para malaikat agar menulis perbuatan yang terbaik yang dikerjakan hamba mukmin itu pada saat sehat dan pada saat waktu senangnya.”

Ujaran Rasulullah SAW tsb diriwayatkan oleh Abu Imamah al Bahili. Dalam hadist yang lain Rasulullah bersabda :

“Apabila seorang hamba mukmin sakit, maka Allah mengutus 4 malaikat untuk datang padanya.”

Allah memerintahkan :

1. Malaikat pertama untuk mengambil kekuatannya sehingga menjadi lemah.

2. Malaikat kedua untuk mengambil rasa lezatnya makanan dari mulutnya

3. Malaikat ketiga untuk mengambil cahaya terang di wajahnya sehingga berubahlah wajah si sakit menjadi pucat pasi.

4. Malaikat keempat untuk mengambil semua dosanya , maka berubahlah si sakit menjadi suci dari dosa.

Tatkala Allah akan menyembuhkan hamba mukmin itu, Allah memerintahkan kepada malaikat 1, 2 dan 3 untuk mengembalikan kekuatannya, rasa lezat, dan cahaya di wajah sang hamba.

Namun untuk malaikat ke 4, Allah tidak memerintahkan untuk mengembalikan dosa2nya kepada hamba mukmin. Maka bersujudlah para malaikat itu kepada Allah seraya berkata : “Ya Allah mengapa dosa2 ini tidak Engkau kembalikan?”

Allah menjawab : “Tidak baik bagi kemuliaan-Ku jika Aku mengembalikan dosa2nya setelah Aku menyulitkan keadaan dirinya ketika sakit. Pergilah dan buanglah dosa2 tersebut ke dalam laut.”

Dengan ini, maka kelak si sakit itu berangkat ke alam akhirat dan keluar dari dunia dalam keadaan suci dari dosa sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Sakit panas dalam sehari semalam, dapat menghilangkan dosa selama setahun.”

Maa syaa Allah, Laa Quwwata Illaa Billaah

selamat beristirahat, keep istiqomah, keep ukhuwah fillah,,

kisah kisah teladan

Untuk di Renungkan

Kisah Seorang Kaisar dan Prajuritnya

rasul-sawDulu kala ada seorang Kaisar yang mengatakan pada salah seorang penunggang kudanya, jika dia bisa naik kuda & menjelajahi daerah seluas apapun, Kaisar akan memberikan kepadanya daerah seluas yang bisa dijelajahinya.

Kontan si penunggang kuda itu melompat ke punggung kudanya & melesat secepat mungkin untuk menjelajahi dataran seluas mungkin. Dia melaju & terus melaju, melecuti kudanya untuk lari secepat mungkin.

Ketika lapar & letih, dia tidak berhenti karena dia ingin menguasai dataran seluas mungkin. Akhirnya, sampailah pada suatu tempat di mana cukup luas daerah telah berhasil dijelajahinya & dia menjadi begitu kelelahan & hampir mati.

Lalu dia berkata terhadap dirinya sendiri, “Mengapa aku memaksa diri begitu keras untuk menguasai daerah yang begitu luas? Sekarang aku sudah sekarat & aku hanya butuh tempat yang begitu kecil untuk menguburkan diriku sendiri.”

Cerita ini mirip dengan perjalanan hidup kita. Kita memaksa diri begitu keras tiap hari untuk mencari uang, kuasa & kebanggaan diri. Kita mengabaikan kesehatan kita, waktu kita bersama keluarga & kesempatan mengagumi keindahan sekitar, hal-hal yang ingin kita lakukan & juga kehidupan rohani & ibadah kita. Suatu hari ketika kita menoleh ke belakang, kita akan melihat betapa kita tidak membutuhkan sebanyak itu, tapi kita tak mampu memutar mundur waktu atas semua yang tidak sempat kita lakukan. Maka, sempatkanlah untuk memikirkan barang sejenak apa yang akan kita lakukan apabila kita mati besok.

Atau apa yang akan kita lakukan jika kita meninggal dalam waktu seminggu? 1 bulan? 1 tahun? 10 atau 40 tahun lagi? Bukankah suatu hal yang menyenangkan sekaligus menyeramkan mengetahui kapan kita akan mati? Kita semua tidak ada yang tahu.

Jalanilah hidup yang seimbang!
Belajarlah untuk menghormati & menikmati kehidupan, & yang terutama mengetahui apa yang terpenting dalam hidup ini.
Mulai saat ini tinggalkanlah kegiatan rutin anda di saat libur & manfaatkan akhir pekan bersama keluarga …

Obatqolbu

Hasan Bashri dan Gadis Kecil

Bismillahirohmanirohim..

hasa-al-bashriHasan Bashri, seorang tabiin terkemuka, sedang duduk di teras rumahnya. Tak lama kemudian, lewat iringan jenazah dengan rombongan pelayat di belakangnya. Di bawah keranda yang sedang diusung, berjalan seorang gadis kecil sambil terisak-isak. Ia adalah putrid orang yang sedang meninggal itu.

Keesokan harinya, usai shalat shubuh, gadis kecil itu bergegas lagi ke makam ayahnya. Hasan Bashri mengikutinya sampai ke makam. Ia bersembunyi di balik pohon, mengamati gerak –gerik gadis kecil itu secara diam-diam. Gadis kecil itu berjongkok di depan gundukan tanah. Sejurus kemudian, ia mereatap dengan kata-kata yang terdengar jelas oleh Hasan Bashri.

“Ayah, bagaimana keadaan mu tinggal sendirian dalam kubur yang gelap gulita tanpa pelita dan pelipur? Ayah, kemarin malam aku nyalakan lampu untukmu, semalam siapa yang nyalakannya untukmu? Kemarin masih kubentangkan tikar, kini siapa yang melakukannya? Ayah, kemarin malam aku masih memijat kaki dan tanganmu,siaopa memijatmu semalam? Ayah, kemarinaku memberimu minum, siapa yang memberimu minum tadi malam? Kemarin malam aku membalikkan badanmu dari sisi yang satu ke sisi yang lain agar engkau merasa nyaman, siapa yang melakukannya untukmu semalam?”

Mendengar rintihan gadis kecil itu, Hasan Bashri tak kuasa menahan tangis. Ia keluar dari tempat persembuniannya, lalu menyambut kata-kata gadis kecil itu. “Hai gadis kecil! Jangan berkata seperti itu. Tetapi ucapkanlah, ‘Ayah, kuhadapkan engkau kea rah kiblat, apakah kau masih seperti itu atau telah berubah. Ayah,kami kafani engkau dengan kain kafan terbaik, masih utuhkah kain kafan itu ?

Ulama mengatakan bahwa hamba yang mati ditanya imannya. Ada yang menjawab dan ada yang tidak. Bagaimana dengan ayah? Apakah engkaku bisa mempertanggungjawabkan imanmu, Ayah? Ataukah engkau tak berdaya?

Ulama mengatakan, kubur sebagai taman surga atau jurang menuju neraka. Kubur kadang membelai orang mati seperti kasih ibu, atau kadang menghimpitnya seperti tulang belulang berserakan. Apakah engkau dibelai atau dihimpit Ayah?

Kata ulama, orang yang dikebumikan menyesal, mengapa tak memperbanyakamal baik. Orang yang ingkar menyesal dengan tumpukan maksiatnya. Apakah engkau menyesal karena kejelekanmu atau kah karena amal baikmu sedikit, ayah?

Ayah, engkau sudah tiada. Aku sudah tak bisa menemuimu lagi hingga hari kiamat nanti. Wahai Allah, jangan lah Engkau rintangi pertemuan ku dengan ayahku di akhirat nanti.”

Gadis kecil itu menengok keopada Hasan Bashri seraya berkata, “Betapa indah ratapanmu kepada ayahku, betapa baikbimbingan yang telah kuterima, engkau ingatkan aku dari lelap lalai.”

Kemudian Hasan Bashri dan gadis kecil itu meninggalkan makam. Mereka pulang sembari berderai tangis.

Sakdiah Nawawi dan Harizin

Sumber:Majalah al-Abrar Saudi Arabiah, http://syukrontanzilah.blogdetik.com/

Kisah Petani dan Puteranya yang Kikir

Bismillahi Ar Rahman Ar Rahim

petaniDharwan, sebuah desa di belahan Yaman, ada yang mengatakan dekat kota Shan’a. Hiduplah di desa itu seorang lelaki tua yang saleh bersama tiga putranya. Dia bekerja sebagai petani, mengelola kebun kurma dan anggur yang cukup berhasil. Setiap musim panen, anggur dan kurma yang diperolehnya berlimpah.

Tetapi, hasil tersebut bukan semata-mata kepandaiannya mengelola kebun tersebut, melainkan murni karena karuni dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lelaki tua itu sangat memahami bahwa di dalam kebun itu ada hak-hak lain yang harus ditunaikannya. Hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hak sesama manusia yang ada di sekelilingnya.

Seperti biasa, di pagi yang cerah itu, lelaki tua itu berangkat ke kebunnya. Angin bertiup lembut, membelai wajahnya yang keriput. Dengan perlahan dia berjalan memasuki kebunnya dan berkeliling. Dia mulai memeriksa isi kebunnya, dari satu sudut ke sudut lainnya. Dia membayangkan alangkah senangnya orang-orang yang fakir dan miskin menikmati rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala ini.

Itulah yang mungkin dipikirkannya. Hasil panen kebunnya memang selalu disiapkannya untuk berbagi dengan mereka yang membutuhkan.

Setelah puas berkeliling, sambil bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia bersiap untuk kembali ke rumahnya.

Tidak lama kemudian, musim panen pun tiba. Dengan penuh semangat, orang tua itu berangkat ke kebunnya. Setibanya di kebun yang rindang dan berbuah lebat itu, dia mulai memetik kurma dan anggur untuk kebutuhan keluarganya. Adapun sisanya, dia biarkan agar dapat diambil oleh mereka yang membutuhkan. Tentu saja masih cukup banyak.

Keadaan ini berlanjut sejak dia masih muda hingga dia memasuki usia renta. Melihat tindakan sang ayah yang selalu menyisakan hasil panennya untuk orang-orang yang fakir dan miskin dalam jumlah cukup besar, sebagian putranya menegur, “Ayah, kalau begini terus, kita bisa bangkrut. Kebutuhan kita semakin bertambah, tetapi ayah biarkan orang-orang yang fakir dan miskin menikmati hasil panen yang kita usahakan dengan susah payah.”

Ayah yang shaleh itu menasihati dan mengingatkan mereka bahwa harta yang ada di tangan mereka saat ini bukan milik mereka, melainkan titipan Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia melihat bagaimana kita berbuat terhadap harta tersebut. Dua di antara putranya ingin membantah dan menentang tetapi tidak berani.

Ayah yang baik itu mengingatkan pula bahwa usianya sudah lanjut, merekalah yang akan meneruskan pengelolaan tanaman anggur tersebut. Dia menceritakan pula bahwa itu semua telah dilakukannya sejak masih muda. Allah Subhanahu wa Ta’ala melipatgandakan hasilnya karena dia selalu berbagi dengan sesama. Dengan cara itulah panennya semakin bertambah.

Sebagian putranya masih tetap tidak menerima uraian sang ayah.

Hari-hari berlalu, sang ayah semakin tua dan mulai berkurang kekuatannya. Di masa-masa ‘pensiun’ itu, dia selalu menasihati anak-anaknya agar jangan lupa berbagi dengan sesama. Sebab, apa yang ada di tangan kita, tidak murni milik kita atau hak kita. Di situ masih ada hak yang lain yang wajib kita tunaikan. Ada hak Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan menzakatkan atau menyedekahkannya, dan ada hak sesama manusia yang tidak mampu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memerlukan harta yang di titipkan-Nya kepada kita. Berapa pun yang kita zakatkan atau sedekahkan, itu tidak memberi keuntungan atau manfaat apa pun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi keuntungan dan manfaat itu justru kembali kepada kita yang dititipi harta tersebut.

Beberapa waktu kemudian, lelaki tua yang shaleh itu meninggal dunia. Ketiga anak laki-lakinya sama-sama merasakan kesedihan ditinggal oleh ayah yang mereka hormati dan mereka cintai. Tetapi, itu tidak lama.

Kini, mereka mulai berusaha menghidupi diri dan keluarga mereka. Masing-masing telah mengambil bagian dari kebun anggur yang diwariskan oleh ayah mereka.

Suatu kali, mereka berkumpul dan bermusyawarah bagaimana tindakan selanjutnya mengatur kebun tersebut. Setelah berbincang lama, mereka mulai membahas sikap ayah mereka yang menurut -sebagian- mereka salah.

“Mulai musim panen ini, kita harus menghalangi orang-orang yang miskin itu ikut mengambil bagian. Keberadaan dan keikutsertaan mereka hanya mengurangi perolehan kita. Padahal kebutuhan kita semakin meningkat,” itulah usulan salah satu di antara mereka dan disepakati oleh salah seorang di antara mereka.

Adapun yang ketiga, sejak tadi mendengarkan. Melihat kebulatan tekad mereka, dia mulai angkat bicara.

“Lupakah kalian, apa yang dikatakan ayah kita sebelum beliau wafat? Kebun ini beliau kelola dengan cara seperti ini sejak beliau masih muda seperti kita. Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang menyuburkannya, sebagai karunia dan ujian, apakah disyukuri atau dikufuri nikmat tersebut. Janganlah kita melanggar nasihat ayah, meskipun beliau sudah meninggal dunia.”

“Sudah. Kau diam saja. Kalau kau mau rugi, rugilah sendiri. Kami tetap tidak akan mengizinkan orang-orang yang miskin itu ikut menikmati hasil keringat kami,” kata yang satunya.

Yang lain menyambung, “Kami akan berangkat ke kebun sejak dini hari, sebelum orang-orang yang miskin itu ikut bangun dan menyusul ke kebun kami.”

Itulah rencana mereka.

Musim panen mulai tiba. Dua orang anak lelaki tua yang shaleh itu sudah bersiap sejak dini hari, sebelum fajar menyingsing mereka harus sudah tiba di kebun dan segera memetik hasil kebun mereka. Sambil bersiap, mereka saling mengingatkan agar jangan sampai ada orang-orang yang miskin yang masuk ke kebun mereka.

“Kita akan ke kebun dan memanen hasilnya,” kata mereka.

Saudara mereka mengingatkan, “Ucapkanlah insya Allah.”

Tetapi, mereka tidak mengacuhkannya.

Mereka berjalan dengan terburu-buru dan melihat-lihat apakah ada yang mengetahui keadaan mereka?

Tiba-tiba. Mereka terperanjat luar biasa.

“Jangan-jangan kita salah jalan. Ini bukan kebun kita. Bukankah kemarin masih kita lihat hijau dan rimbun, serta siap dipanen?” kata salah seorang dari mereka.

Saudara mereka yang bijak, yang selalu menasihati mereka berkata, “Itu memang kebun warisan ayah kita. Tetapi, kalian dihalangi memperoleh hasilnya. Bukankah aku sudah mengingatkan agar kalian bertasbih kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala?”

Mereka memeriksanya, dan sadarlah mereka bahwa itu memang kebun mereka. Ternyata Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberi balasan atas niat buruk mereka, yaitu ingin menghalangi orang-orang yang miskin memperoleh jatah mereka yang ada di dalam hasil kebun tersebut.

Mereka segera sadar dan menyesali sikap mereka, tetapi semua telah terjadi. Kebun mereka telah hancur luluh, tidak ada yang tersisa. Mereka gagal menikmati apa yang ingin mereka nikmati.

Itu baru di dunia, bagaimana pula azab di akhirat yang lebih dahsyat?

“Mahasuci Allah, sungguh kami telah menzalimi diri kami sendiri. Alangkah celakanya kami. Sungguh, kami telah melampaui batas. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kami ganti yang lebih baik. Sungguh, kami benar-benar berharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.”

Demikianlah sepenggal kisah mereka. Penyesalan memang datang terlambat, tetapi masih terasa manfaatnya jika hal ini terjadi di dunia dan bisa diperbaiki. Seperti yang mereka alami.

Catatan:
Kisah ini sudah dikenal oleh masyarakat Arab (Quraisy) di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah diabadikan di dalam Al-Qur’an surah al-Qalam ayat 17-33. Menurut berita yang dinukil dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, mereka adalah sebagian dari orang-orang ahli kitab. Wallahu a’lam.

Sumber: Kisah ini diambil dari artikel “Para Petani dan Tuan-Tuan Kebun” karya Al-Ustadz Abu Muhammad Harits dalam majalah Asy Syariah no. 89/VII/1434 H/2012, hal. 75-77.

http://fadhlihsan.wordpress.com